Langsung ke konten utama

Menilik Sabda Sultan sebagai Mistisisme Jawa

Heni Setiana
henisetiana22@gmail.com
Abstrak
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah yang masih menganut Mistisisme Jawa. Di mana Kraton Yogyakarta menjadi pusat kekuatan mistik. Mistisisme pada tingkat tinggi diperebutkan karena individu yang mampu mancapai keagungan dan kemuliaan yang didambakan dan dicari banyak orang untuk berguru. Seorang Raja Mataram biasanya selalu mempraktikkan Mistisisme Jawa sampai tingkat tinggi. Bagi mereka yang mempercayai, bahwa kosmos dapat menembus dan berdialog dengan Tuhan untuk mecapai kesejahteraan rakyatnya. Kepercayaan tersebut masih kental di masyarakat Yogyakarta. Sabda yng dikemukakan oleh Sultan adalah Titah Raja yang didapat dari dialog Sultan dengan Tuhan. Perubahan sosial dan kultur masyarakat Yogyakarta menjadikan warga mulai membuka suara untuk mendapatkan kesempatan berbicara mengenai ketidaksetujuan yang dilakukan oleh sultan karena dianggap tidak sesuai dengan tradisi ratusan tahun lalu.
Pergeseran nilai di dalam masyarakat mencoba mendapatkan tempat aspirasi. Peraturan perundang-undangan perlu perombakan karena tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Yogyakarta. Serta ketidakadaan ahli waris dari Sri Sultan Hamengku Buwono X yaitu seorang anak laki-laki. Polemik kekuasaan tersebut perlu dikaji ulang dengan menggunakan hukum responsif dan kerelevannya masyarakat Yogyakarta.
Kata kunci: Mistisisme, Perubahan Sosial, Hukum Responsif.





1.        Pendahuluan
Jawa Tengah bagian selatan merupakan daerah yang terkenal dengan adanya Mistisisme Jawa. Pada zaman dahulu, gagasan tentang kegunaan mistisisme bagi dunia tersebut benar-benar terlembaga dalam pandangan kerajaan. Para raja dianggap sebagai anasir mistik paling digdaya di muka bumi, dipandang sebagai wadah potensi kosmis. Kekuasaan duniawi mereka mencerminkan kharisma, sebagaimana diwujudkan kemampuan mereka menerima mandat supranatural untuk berkuasa. Inilah yang lazimnya disebut wahyu (wangsit). Wahyu ini menjadi pertanda benderang bagi keberkaitan mereka dengan – dan konsentrasi – kasekten (potensi kosmis), yang dianggap memancarkan kekuatan magis dari kepribadian mereka bagi rakyat mereka, demi menjamin kesejahteraan rakyat.[1]
Istana-istana mereka dibangun sebagai gambaran model kosmos, menyimbolkan kedudukan mereka di dunia selaku pusat semesta, namun dua raja yang masih ada di Jawa, Paku Buwono di Surakarta dan Paku Alam di Yogyakarta, kedua-duanya bermakna sumbu dunia. Berkat potensi mistiknya, manusia sanggup menembus alam adikodrati, yang mempengaruhi kehidupan di dunia dan dalam masyarakat.
Masyarakat Yogyakarta pun mengekspresikan bahwa Tuhan ada di dalam hati, Tuhan-lah yang mereka rasakan. Dialah hidup dan keberadaan mereka menjadikan bagian darinya, atau dalam bahasa seseorang mistikus “Dalam setiap detak jantungku aku merasakan Tuhan”. Bahkan pada masa sekarang, prinsip hidup dikenal sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan bisa dirasakan dalam batin, merupakan suatu pengalaman tentang atau perjumpaan pribadi dengan hakikat dan kebenaran. Ketuhanan bukalah sebuah perlawanan dengan sesuatu yang berada di luar diri, melainkan peneguhan bahwa seseorang berperan serta dalam kesatuan eksistensi.
Eksistensi di atas walau sudah berumur ratusan tahun masih dipercaya oleh sebagian warga Yogyakarta terutama Kraton Yogyakarta. Perkembangan masyarakat yang semakin modern tidak menyurutkan semangat mistisisme. Karena pada titik tertinggi perjalanan mistik, dunia menjadi tidak berarti, namun membuahkan kekuasaan moral yang besar, seorang mistikus tingkat tinggi akan tetap bersinar bagaikan mercu suar dunia. Praktik mistisisme dipandang sebagai upaya menempa hidup yang lurus di dunia ini dan mewujudkan keadaan yang didambakan. Sehingga orang-orang berusaha mencapai titik tertinggi tersebut (Niels Mulder, 2001:39).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah otonom setingkat provinsi, terletak dibagian selatan di Pulau Jawa bagian tengah dengan Ibukota Kota Yogyakarta. Daerah ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah dan Samudra Hindia. Wilayah Yogyakarta terdiri dari satu kota yakni Kota Yogyakarta dan empat kabupaten yakni Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo. Ngayogyakarta Hadiningrat telah berjalan cukup panjang yang berawal dari Kerajaan Mataram Islam dan hingga kini masih menganut sistem kerajaan dimana Sultan yang memimpin Yogyakarta serta sebagai Gubernur Yogyakarta.
Kasultanan dan Pakualaman memutuskan bergabung dengan NKRI setelah mendengar Indonesia telah merdeka di tahun 1945. Dengan begitu, Yogyakarta sah menjadi tanah Indonesia yang merdeka dengan mengikuti aturan yang berlaku. Demokrasi menjadi pilihan para pendiri bangsa untuk menentukan arah jalan Indonesia menuju ke masa depan. Dari Sabang sampai Merauke, menjadi subjek berlakunya sistem tersebut dengan Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Di masa reformasi ini, perwujuddan demokrasi telah kembali secara utuh setelah masa orde baru yang hanya dijadikan topeng pelanggengan kekuasaan.  Di masa euphoria reformasi ini, masyarakat cenderung semakin kritis, lebih bebas dan more demanding. Mereka tidak mau dikekang dan dipasung seperti masa orde baru. Kebijakan dan tindakan pemerintah dituntut harus akomodatif, adil dan aspiratif. Jika menurut persepsi mereka, tidak demikian adanya, maka mereka tidak segan untuk memberontak.
Indonesia tidak mengelak dengan kehadiran globalisasi, di mana masyarakat berkembang semakin modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Kebutuhan mendasar semakin dipermudah untuk mendapatkannya karena kehadiran teknologi. Kesibukan pemenuhan kebutuhan membuat manusia terasa semakin kekurangan waktu dalam seharinya. Persaingan antar bidang kehidupan semakin tinggi, sehingga masyarakat sibuk mendapatkan prestise.
Namun, Mistisisme Jawa tetap eksis hingga sampai saat ini. Bagi mereka yang merasakan kekosongan, maka agama – Tuhan adalah sumber yang mereka rindukan. Manusia hidup dan tidak bisa mengelak untuk berperan serta dalam kesatuan eksitensi material dan spiritual yang merangkul segalanya. Aspek spiritual lebih unggul, aspek ini merupakan asal dan tujuan umat manusia. Keselarasan dan kesatuan dengan hakikat adalah tujuan dari semua kehidupan. Di masa modern ini, aliran tersebut masih berlaku dalam masyarakat Yogyakarta hingga saat ini.
Banyaknya ajaran mistik yang berorientasi pada Kraton juga menekankan penghormatan pada tatanan hierarki negara sebagai langkah awal seseorang menuju Tuhan. Sehingga apa yang ada di maenset rakyat Yogyakarta apa yang dilakukan dan berlaku di wilayah Kraton Yogyakarta adalah hal yang perlu dihormati dan ditaati. Sehingga kehidupan demokrasi secara normal terkalahkan dengan Mistisisme Jawa yang sudah hidup lebih dahulu, jauh sebelum hadirnya demokrasi.
Dalam artikel ini, saya akan membahas mengenai kehidupan Mistisisme Jawa yang tetap hidup di tengah hingar bingar modernitas serta sistem demokrasi di Indonesia. Sebuah gelar keistimewaan yang disandang Yogyakarta menjadikan daerah ini memiliki beberapa bagian yang dapat diatur sendiri tanpa dicampuri oleh Pemerintahan Pusat. Adanya hukum responsif yang melihat karakteristik masyarakat sebelum sebuah kebijakan diberlakukan dalam masyarakat terutama dalam menjawab pemikiran masyarakat yang kental dengan pemikiran Mistisisme Jawa dengan dibarenginya perkembangan masyarakat yang selalu dinamis.
2.        Pembahasan
Menurut Rusuf M. Jones dalam Dictionary of Philosophy, mistisisme mengandung arti bahwa yang paling sederhana dan paling pokok adalah suatu tipe agama yang memberikan tekanan pada kesadaran yang langsung berhubungan dengan Tuhan, kesadaran akan kehadiran Tuhan yang langsung dan akrab. Mistisisme merupakan agama pada suatu tingkatan yang mendalam. Sebagaimana mistisisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Maka adanya kesadaran akan adanya komunikasi atau dialog antar roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun Nasution, 1972: 56).
Tidak ada pedoman dasar yang universal dan otentik. Ajaran mistisisme berasal langsung dari tokoh yang sudah mengalami sehingga paham mistik. Biasanya orang yang sudah mencapai tingkat tertinggi akan sangat dimuliakan dan diagungkan oleh penganutnya karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang disebut kharisma. Seperti Mangkunegara VII memilih empat jenis meditasi untuk mencapai mistikus tertingg, yakni (1) menghancurkan dengan sarana magis; (2) mencapai satu tujuan positif tertentu; (3) mengalami penyingkapan misteri eksistensi; (4) membebaskan dari segala kehendak duniawi. Seseorang yang telah mencapai tahapan tersebut akan dipandang memilik kharisma seperti pemimpin Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Keraton menjadi rujukan sebagai kekuatan mistisisme bahkan pusat kekuatan tersebut. Para keluarga Keraton Yogyakarta sampai hari ini mempercayai dengan Mistisisme Jawa. Sebuah sabda yang dikemukakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono merupakan wujud sabda sultan yang berasal dari Tuhan. Masyarakat percaya bahwa hal tersebut benar-benar ada, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono telah melakukan dialog dengan Tuhan dan mendapatkan wahyu. Prosesi yang berlangsung sangat privasi sehingga tidak ada yang tahu pelaksanaannya seperti apa. Namun, ketika hal tersebut diyakini sebagai wahyu maka harus dilakukan sesuai dengan wangsit yang diterima sebagai bakti kepada Tuhan.
Indonesia tidak mengelak dengan kehadiran globalisasi, di mana masyarakat berkembang semakin modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Kebutuhan mendasar semakin dipermudah untuk mendapatkannya karena kehadiran teknologi. Kesibukan pemenuhan kebutuhan membuat manusia terasa semakin kekurangan waktu dalam seharinya. Persaingan antar bidang kehidupan semakin tinggi, sehingga masyarakat sibuk mendapatkan prestise.
Perubahan sosial dan kultural di Yogyakarta sangat terasa. Hal tersebut dikarenakan Yogyakarta sebagai daerah urban bagi pelajar yang meneruskan sekolahnya diperguruan tinggi tepatnya di Yogyakarta. Hubungan interaksi masyarakat setempat dan pendatang membuat komponen penduduk Yogyakarta heterogen. Masyarakat mulai mengenal adanya pembangunan fisik yang luar biasa pesat di akhir dekade ini. Ditambah dengan komposisi penduduk yang padat dan lapangan pekerjaan yang sempit membuat pekerjaan masyarakat semakin bervariasi.
Dalam penetapan peraturan perundang-undangan perlu melihat kedinamisan masyarakat. Karena masyarakat yang akan menjadi subyek hukum. Sehingga peraturan harus sesuai dengan keadaan sosial dan kultur masyarakat. Selama ini hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan lain lain seperti dalam hal permasalahan sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, disisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan itu sendiri. Seharusnya hukum tidak menutup diri terhadap faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan masyarakat.
Dalam perspektif ilmu sosial harus memperhatikan berkerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukkan pengalaman hukum sebagai suatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hukum responsif berorientasi pada hasil dan tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Kekhasan dari hukum ini adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
Produk dari hasil yang responsif dalam proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat baik dari segi individu maupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak masyarakat. Sifat responsif dapat diartikan sebagai pelayanan kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum responsif adalah hukum di dalam perspektif konsumen.
Dari konsep hukum responsif dikontruksikan oleh dua mahzab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya. Pemikiran Satjipto Rahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang menyatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala mendasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyadarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum. Dengan adanya hukum responsif yang digagas Philippe Nonet dan Selznick dengan didukung sociologicla jurisprudence, diharapkan institusi hukum  lebih baik dalam mempertimbangkan fakta sosial di mana hukum diproses dan diaplikasikan.
Indonesia untuk menjadi negara hukum memerlukan perjalan yang panjang kerena menyangkut perubahan perilaku tatanan sosial dan kultural. Perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial masyarakat dengan segala kepentingan yang sesungguhnua berada di belakang hukum. Hukum juga akan terus berkembang, hanya saja tidak tahu arah tujuannya perkembangan hukum. Perkembangan hukum diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara, bangsa yang modern demi terwujudnya cit-cita jaminan akan kepastian dan pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib.
Selain semagai negara hukum, Indonesia adalah negara yang ngsusung demokrasi karena demokrasi adalah sejatinya Indonesia. Para Founding Father memerdekakan Indonesia dengan tiga semangat yang dapat dirangkum yakni keadilan sosial, persamaan kedudukan warga negara, dan kebebasan warga negara. Bergabungnya Yogyakarta sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti rambu-rambu yang ada di Yogyakarta menyesuaikan dengan peraturan Republik Indonesia. Walau gelar keistimewaan yang disandang Yogyakarta tetap saja sistem demokrasi tidak dapat diacuhkan. Penetapan eksekutif berdasarkan keturunan Kerajaan Mataram, tidak menutup kemungkinan demokrasi diterapkan diberbagai bidang kehidupan dapat dijalankan di masyarakat Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat tidak mengatur mengenai kedudukan penguasan kerajaan di Yogyakarta. Sehingga  secara politis Pemerintah Pusat menegakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai penguasa dari Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualaman VIII sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keresahan dari posisi eksekutif dan keistimewaan dari Yogyakarta mulai dirancang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta oleh DPRD setempat. Untuk itu penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta. Rancangan tersebut mencantumkan 8 isi otonom dan pengaturannya yang salah satunya mengenai kepala eksekuti yang penetapannya oleh DPRD Provinsi hanya Sultan/Pakualaman dan/atau kerabatnya yang berhak menduduki posisi eksekutif.
Belum lama ini, tepat pada tanggal 30 April 2015 lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengubah namanya menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama yang sebelumnya bernama Ngarsa Dalem Sampeyan Salem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panatagaman Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa In Ngayogyakarto Hadiningrat. Selain itu, Sultan juga mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dang Ki Adeng Pamanahan, serta penyempurnaan Keris Kiai Ageng Kopek dan Kiai Ageng Piturun. Kemudian Sultan mengeluarkan dhawuh pada 5 Mei 2015, melalui titah tersebut putri sulung Sri Sultan diubah namanya dari Gusti Kanjeng Ratu Pembayung menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng Ing Mataram.
Perubahan mendasar suksesi Raja Mataram ini menimbulkan reaksi keras dari adik-adik Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhoningrat menuturkan pengangkatan putri mahkota sebagai penerus tahta akan berlawanan dengan tatanan kraton. Bahkan dalam pengumuman sabda raja, adik-adik dari Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak menghadiri acara tersebut sebagai sebuah aksi penolakan pengangkatan Pembayun sebagai Mangkubumi. Kini kraton sedang menhadapi krisis intrik perebutan dan suksesi sekaligus revolusi untuk pertama kalinya mengangkat putri mahkota.
Padahal di dalam UUK sudah tercantum bahwa Gubernur Yogyakarta adalah raja yang bertahta dengan gelar Ngarsa Dalem Sameyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakrta Hadiningrat. Dari gelar yang disebutkan, secara implisit sudah diatur juga jika seorang Gubernur Yogyakarta adalah seorang laki-laki. Sehingga apa yang sudah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak sesuai dengan UUK yang sudah ditetapkan.
Walaupun banyak kalangan yang menentang dengan yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, adapula kalangan yang mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono X. Perubahan jaman yang modern, menandakan Sri Sultan Hamengku Buwono X mencoba melihat perkembangan jaman dan menjawab perkembangan tersebut. Karena kraton dan masyarakat juga membutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dari tuntutan jaman. Tradisi yang perlu dipertahankan adalah tradisi yang masih mampu mengikuti perkembangan masyarakat karena sejatinya masyarakat adalah fenomena dinamis yang selalu berubah untuk menyesuaikan jaman.
Sabda raja dalam konteks demokrasi tidak harus memenuhi nilai kebudayaan atau tradisi kraton yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dengan demikian, Sri Sultan Hamengku Buwono X berupaya membentuk kasultanan yang lebih egaliter dan dapat diterima oleh semua pihak. Sabda raja merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan kepada raja yang bertahta. Sehingga hak keistimewaan sultan dapat ditanggapi oleh semua kalangan baik internal kraton maupun masyarakat Yogyakarta.
Disini baik Kerabat Kraton Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta sedang menghadapi masalah rumit. Peralihan kekuasaan merupakan permasalah internal Keraton Yogyakarta, sehingga rakyat dan pemerintah pusat tidak dapat campur tangan dalam penyelesainnya. Namun, jika menimbang berbagai faktor Kraton memerlukan suara rakyat dalam memutuskan perselisihan hak waris tahta Kasultanan. Secara sejarah, Kraton memang belum pernah dipimpin oleh seorang wanita. Apabila putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X diangkat sebagai raja maka ini adalah kali pertamanya Yogyakarta dipimpin oleh seorang wanita.
Bagi masyarakat yang sudah mengenal Mataram sejak lama, hal di atas adalah menyalahi tradisi Kerajaan leluhur. Namun, apabila dilihat dalam konteks modern pengganti Sri Sultan Hamengku Buwono X seorang putri maka ini adalah kemajuan kraton yang mulai berfikir untuk menjawab tantangan jaman dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama menjadi seorang pemimpin.
Problematika  tersebut diperlukan hukum responsif untuk mengatur keteraturan Kraton dan masyarakat Yogyakarta. Kekompleksan penduduk dan kebutuhan masyarakat serta kerelevanan sistem pemerintahan berbentuk kerajaan menjadi penilaian untuk menetapkan perundang-undangan keistimewaan Yogyakarta. Sabda Sultan tidak lagi dapat menjadi rujukan rasional di zaman modernitas ini karena segala hal terfikirkan secara logika. Masyarakat juga ikut bergejolak dengan sabda sultan di mana putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X mengganti nama menjadi Mangkubumi. Reaksi tersebut perlu diperhatikan untuk mendapatkan peraturan yang lebih fleksibel dan dapat mengurasi ketegangan perebutan kekuasaan antara anak Sri Sultan Hamengku Buwono dengan Kerabat yang dekat dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
3.        Kesimpulan
Masyarakkat Yogyakarta merupakan masyarakat yang masih kental dengan kebudayaan Mistisisme Jawanya. Yang menjadikan Kraton sebagai pusat kekuataan. Sejak dahulu, melakukan ritual mistisisme wajib untuk para Raja Kerajaan Mataram. Raja bagi masyarakat Jawa adalah seorang yang terhubung dengan Tuhan. Apa yang menjadi sabda Raja, adalah tatih Tuhan yang harus dilaksanakan.
Belum lama ini Sri Sultan Hamengku Buwono mengeluarkan sabda. Sabda tersebut banyak menimbulkan pro-kontra dari masyarakat Yogyakarta. Karena selama ratusan tahun, Kraton tidak pernah dipimpin oleh seorang perempuan. Daerah Istimewa Yogyakartapun dengan Undang-Undang Keistimewaan yang telah dibuat juga menyantumkan bahwa calon Gubernur Yogyakarta adalah yang menyandang gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X. Secara otomatis yang menjadi ahli waris dari tahta Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah seorang laki-laki dari keturunan Mataram.
Perselisihan antara Undang-undang yang telah dibuat oleh DPRD Yogyakarta dengan keyakinan mistisisme masyarakat Jawa mempersulit masyarakat untuk ikut andil mencampuri penyelesaian masalah internal Keraton Yogyakarta. Sabda Sultan merupakan wahyu yang didapatnya melalui beberapa ritual yang dilakukan dan harus diwujudkan demi sebuah kebaktian kepada Tuhan dan leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya akan hal tersebut karena aliran ini tidak hanya diyakini oleh kalangan masyarakat bawah saja melainkan kalangan atas seperti profesir, aktivis akademis bahkan pajabat militer dan pemerintahan mengikuti aliran tersebut.
Indonesia adalah negara demokrasi, permasalah kompleks tersebut bisa diselesaikan dengan cara demokratis. Hukum responsif pun menjadi acuan negara demokrasi untuk menentukan perundang-undangan. Dinamisnya masyarakat perlu dikaji secara sosial untuk membuat peraturan. Hukum yang berlaku bisa tidak berlaku lagi dengan keadaan yang sudah berubah. Dengan begitu perlu adanya perkembangan hukum yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Tidak menjadi masalah apabila seorang perempuan memimpin suatu daerah.
Dengan begitu perkembangan selanjutnya perlu untuk melihat dan menimbang keadaan kebutuhan masyarakat Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta masih terjaga dengan baik karena potensi di berbagai bidang seperti sosial, budaya, dan politik masyakat sangat unik. Warisan akan budaya dan masa lalu menjadi hal romantisisme yang indah untuk dipertahankan oleh masyarakat Yogyakarta.
Artikel ini masih banyak kekurangan dalam mencari referenasi/informasi yang jelas mengenai sabda sultan serta kurang lengkapnya sejarah Keraton Yogyakarta. Pengupasan mengenai perubahan sosial masih terdapat kekurangan yang jelas dalam pembahasan di atas. Diharapkan apabila akan menulis artikel dengan topik ini, penulis bisa lebih menjelaskan keterkaitan antara mistisisme, perubahan sosia, dan hukum responsif yang dibutuhkan dalam menjawab fenomena permasalahan di masyarakat.

Daftar Pustaka
Friedrick, dkk. 2011. Membuat Demokrasi Sosial diterima dalam Jurnal Sosial Demokrasi: Melacak Jejak dan Prospek Sosial Demokrasi di Indonesia karya Paskal Kleden dan Mian Vol. 11, Nomor 4, April – Juli.
Hamid, Edi Suandi. 2004. Memperkokoh otonomi daerah. Yogyakarta: UII Press.
Kansil. 2002. Pemerintah daerah di indonesia hukum administratisi daerah. Jakarta: sinar grafika.
Kutojo, S & M. Safyan (Editor). 1977. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Miftachul Janah. 2014. Sistem Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta Pasca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: UIN.
Niels Mulder. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Peraturan Daerah Istimewa Nomor 1 Tahun 2013.
Satjipto rahardjo. 2008. Membeda hukum progresif. Jakarta: Kompas.
Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum progresif: sebuah sisntesa hukum indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Selo soemardjan. 2009. Perubahan sosial di yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.
Undang-Undang No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Universitas Gajah Madha. 2008. Monograph, on Politics and Government. Vol. 2, Nomor 1.



[1] Pemikiran dilestarikan di sekolah. Di sekolah, keraaan-kerajaan kuno diprresentasikan menurut prasasti yang penuh puja-puji di mana religiusitas raa yang berkuasa dipadukan dengan kemakmuran wilayah kekuasaannya. Gaya yang demikian uga selalu dikemukakan dalam deskripsi kerjaan-kerajaan yang diperintah raja yang adil dalam pewayangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TINGKATAN NORMA BERDASARKAN KEKUATAN MEMAKSANYA:

No. NORMA URAIAN CONTOH 1. Cara ( usage) Norma yang paling lemah daya pengikatnya karena orang yang melanggar hanya mendapatkan sanksi dari masyarakat berupa cemoohan atau ejekan. Orang yang bersendawa atau berdecap-decap ketika sedang makan dan meludah di sembarang tempat hanya mendapat sanksi berupa teguran. 2. Kebiasaan ( folkways) Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya. Mematuhi orang tua, menggunakan tangan kanan apabila hendak memberi sesuatu, mengetuk pintu sebelum masuk ruangan orang lain, dan memberi salam pada saat bertamu 3. Tata kelakuan ( mores) Aturan yang sudah diterima masyarakat secara sadar atau tidak sadar dan dijadikan alat pengawas atau kontrol terhadap anggota masyarakat. Tata kelakuan mengharu

Materi Lembaga Pendidikan

NOTE: 1. Silakan catat di buku sosiologi catatan 2. Kirim hasil catatan yang sudah selesai ke whatsapp 082325347235 dengan format: Salam Nama Lengkap Kelas Picture Lanjutan Materi Lembaga Keluarga dengan Submateri Unsur-unsur Lembaga Keluarga.   Silakan lanjut mencatat Lembaga Pendidikan Pada Picture ini silakan untuk diringkas sesuai kebutuhan anda Lanjut mencatat FUNGSI LEMBAGA PENDIDIKAN Part I (jangan diringkas) Part II Fungsi Lembaga Pendidikan Lanjut mencatat Unsur-Unsut Lembaga Pendidikan Jika sudah selesai, baca kembali Note di atas! Terimakasih

Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia)

Judul Buku : Mistisisme Jawa ( Ideologi di Indonesia ) Karya Niels Mulder Review oleh Heni Setiana 11/03/2018 Buku Niels Mulder yang berjudul “Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia” dimana penulis berusaha mengungkapkan keterkaitan antara mistisisme jawa dengan politik di zaman rezim orde baru. Dimana mistisisme adalah pembebasan individu untuk menempuh kehidupan yang lurus. Sedangkanpada masa orde baru ini menerapkan nilai-nilai yang diresmikan. Dengan begitu, nilai-nilai dijajakan oleh negara melalui indoktrinisasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Orde baru mencoba mengklaim mempunyai justifikasi atas nama tradisi dan keaslian. Peneliti menemukan keterkaitan pola pemikiran mistisisme Jawa dengan indokrinasi Orde Baru dalam tiga kata pokok yaitu sesuatu yang keramat, realitas lahir, dan sosok ampuh.Dalam rezim ini, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pusaka kramat semacam primbom. Dimana, individu yang ingin selamat maka mereka harus be