Langsung ke konten utama

Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia)



Judul Buku: Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia)
Karya Niels Mulder
Review oleh Heni Setiana
11/03/2018

Buku Niels Mulder yang berjudul “Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia” dimana penulis berusaha mengungkapkan keterkaitan antara mistisisme jawa dengan politik di zaman rezim orde baru. Dimana mistisisme adalah pembebasan individu untuk menempuh kehidupan yang lurus. Sedangkanpada masa orde baru ini menerapkan nilai-nilai yang diresmikan. Dengan begitu, nilai-nilai dijajakan oleh negara melalui indoktrinisasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Orde baru mencoba mengklaim mempunyai justifikasi atas nama tradisi dan keaslian.
Peneliti menemukan keterkaitan pola pemikiran mistisisme Jawa dengan indokrinasi Orde Baru dalam tiga kata pokok yaitu sesuatu yang keramat, realitas lahir, dan sosok ampuh.Dalam rezim ini, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pusaka kramat semacam primbom. Dimana, individu yang ingin selamat maka mereka harus bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pancasila yang menuntun bangsa pada terbentuknya Indonesia. Dan untuk terus menjaga pusaka itu tentu saja membutuhkan pembangunan sebagai bentuk realitas. Juga kepatuhan terhadap orang ampuh dalam hierarki tertinggi yakni sebagai pengganti sosok raja dan sabdanya harus diikuti.
Aliran kebatinan kejawen merupakan pembebasan individu untuk menempuh kehidupan yang lurus. Pada paraktik tertinggi perjalanan mistik, dunia menjadi tidak berarti, namun karena pencarian mistis membuahkan kekuasaan moral yang besar, seorang mistikus tingkat tinggi akan tetap bersinar bagaikan mercu suar dunia, bagi moral dan meterial masyarakat. Oleh karena itu, praktik mistisisme dipandang sebagai upaya menempa hidup yang lurus di dunia ini dan mewujudkan keadaan yang didambakan.
Gagasan dominan dalam mistisisme seperti yang dipraktikan di Yogyakarta adalah menjadi sepi ing pamrih. Tidak mementingkan diri ini dilaksanakan melalui nasihat untuk melaksanakan nilai-nilai seperti rila (tak terikat), narima (menyukuri hidup seperti adanya), waspada-eling (terus menerus ingat), adhap-asor (rendah hati), prasaja (bersahaja). Cara lainnya adalah prihatin, yang banyak dilakukan orang dengan menjalankan asketisme ringan. Semua itu mengekspresikan reaksi personal terhadap kecemasan dan kegentingan eksistensi, tetapi bukan merupakan upaya sadar untuk memperbaiki eksisteni itu. Ajara-ajaran kelompok mistik awam mengekspresikan pemikiran itu dengan pas. Dalam semangat menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, mereka mengucapkan diktum seperti “Aku tidak bisa apa-apa, aku tidak punya apa-apa”. Etika duniawi mereka dirumuskan secara sederhana sebagai “tidak merugikan sesama”. Orang harus bersikap baik satu sama lain, saling membahagiakan, dan menahan diri agar tidak saling mengusik ketenangan pikiran.
Ritual agama mewarnai hubungan formal antara Tuhan dan manusia. Kontrol diri menundukkan dorongan dan emosi manusia. Semua aturan itu dipandang sangat penting dalam memelihara dan menikmati satu eksistensi yang harmonis.  Pelanggaran terhadap harmoni serupa itu, gangguan terhadap ketertiban ini, salah menurut ukuran manusia karena gangguan itu berbahaya secara sosial dan amat besar dosanya. Oleh karena itu, berkenaan dengan tindakan duniawi kebatinan menekankan latihan perilaku yang benar sebagai sebuah upaya sadar. Etika ini tidak untuk masalah duniawi yang ini ataupun duniawi lainnya melainkan ditunjukkan demi keselaran keeluruhan eksistensi, keselaran hidup dalam hidup.
Ideal mistik tentang kekuasaan dan harmoni antara manusia dengan Tuhan hadir sebagai model bagi hubungan manusia dengan masyarakat. Upaya pencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan kesatuan menyiratkan ketentraman. Hasrat, ambisi, dan nafsu pibadi dianggap mengancam harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa berkorban demi harmoni sosial akan mengantarkan pada pahala tertinggi. Sementara lebih baik mengalah kepada masyarakat daripada mencoba memaksakan kehendaknya.
Pendidikan Jawa berupaya menanamkan gagasan-gagasan tersebut. Menjadi orang Jawa adalah menjadi berbudaya. Itu artinya, mengetahui cara-cara beradab dan sepenuhnya sadar akan posisi sosial. Seorang Jawa yang diakui adalah sosok yang tahu tatanan. Oleh karena itu, seorang anak dianggap durung Jawa, belum menjadi orang Jawa, belum berbudaya. Anak adalah pribadi yang belum mengerti cara dan tempatnya dalam tatanan. Bagi orang Jawa, budaya bukanlah suatu pengertian antropologi yang kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lebih bijaksana, menyadari diri, tempat, dan tata cara menyadari diri dan orang lain. Agar berbudaya berarti harus lulus dari durung Jawa menuju wis Jawa. Harus tahu dan menunjukkan tata cara yang patut, berbicara dengan kata yang tepat menjaga eksistensi yang teratur, dan menghormati hierarki sosial.
Sejauh anak-anak masih dianggap durung jawa maka mereka boleh melakukan apa saja sesuka hati. Mereka dirawat dan dibesarkan dengan kesabaran dan dilindungi dari pengalaman yang menakutkan. Toleransi dan kesabaran, pada gilirannya melindungi orang-orang di sekeliling mereka dari kemarahan karena tempramen dan tingkah laku anak-anak yang belum beradab. Sedikit demi sedikit anak-anak manusia, menjadi orang jawa. Dalam proses itu mereka harus belajar membedakan antara diri mereka dengan kepentingan keluarga dan komunias yang lebih luas. Pada akhirnya individu dan masyarakat terlindungi satu sama lain oleh internalisasi semua aturan dan ketentuan yang dianggap bisa menjamin bentuk sosial yang tepat, tanpa pandang kebijakan personal.
Begitupula proses yang hendak diambil oleh pemerintah di rezim orde baru. Penguasa orde baru menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai jimat penolak balak. Demi mencapai tujuan itu, pemerintah Indonesia tak lelah-lelahnya menekankan pentingnya Pancasila seraya menyatakan bahwa ia akan mewujudkan sila-silanya, dan apa yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konskuen. Ramuan itu menjadi mandat dan asas Orde Baru, sang Pengawal Bangsa.
 Dalam proses lebih lanjut, Pancasila dan UUD 1945 menjadi pusaka kramat yang semakin berkembang dan tidak bisa diganggu gugat. Keduanya sudah menjadi formula suci pelindung bangsa. Mengalami reifikasi, keduanya diubah menjadi benda-benda yang kepemilikannya melegitimasi rezim dan memberkati jalur yang dilayarinya. Pancasila dan UUD 1945 menjadi seperti wahyu, sebuah mandat ketuhanan. Di atas segalanya ketika memiliki mantra-mantra yang jitu, seorang penguasa menjadi tidak bisa salah. Berkat Pancasila bangsa ini eksis karena kualitas pusaka kramatnyalah bangsa ini tidak pecah-pecah. Rancangan yang digariskan Tuhan. Takdir sudah terkuak. Takdir itu membentuk dunia Indoneia dan di atas segala-galanya, memelihara persatuan dan kesatuannya.
Yang diperlukan adalah mewujudkannya. Jadi realitas yang nyata perlu didorong, ditekan, dan dipacu. Aktivitas ini dinamakan pembangunan. Pembangunan itu terdiri dari pembangunan material dan pembangunan spiritual. Kedua aspek tersebut merupakan komponen batiniah upaya nasional, bertujuan menciptakan kepribadian Pancasila, manusia Indonesia Seutuhnya, yang menghuni sebuah masyarakat harmonis, stabil namun dinamis. Senantiasa dibimbing kepentingan bersama, dorongan-dorongan pribadi terhapus, ia aktif mengusahakan manfaat bagi keuntungan semua orang, menjadikan negeri ini sebuah tempat yang lebih baik dan lebih indah. Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Mamayu hayuning bawana.
Jawanisasi mengungkapkan dalam pengangkatan Pancasila sebagai ideologi resmi. Mulai tahun 1978, dengan gencarnya negara menyebarluaskan penafsiran kelima sila Pancasila. Penafsiran tersebut diangkat menjadi pandangan dunia bangsa Indonesia atau falsafah hidup yang memberikan arah bagi rakyat, bangsa, dan negara. Dari pemikiran ini maka sangat logis bila tindakan yang menyusul adalah dicetuskannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi segala macam kehidupan terorganisir di negeri ini. Pancasila mengungguli agama-agama dan ideologi politik tertentu. Semua orang diharapkan menjadi Pancasilais. Semuanya akan dipersatukan dalam satu arus pemikiran. Bersatu padu mereka akan mewujudkan masyarakat Pancasila, masyarakat yang didiami oleh manusia Indonesia seutuhnya.
Demi mewujudkannya, negara melaksanakan propaganda pandangannya. Di sekolah, pelajaran Pancasila dijadikan sebagai pendidikan moral – mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan hingga universitas. Tak ketinggalan, generasi tua juga ditempa dalam mentalitas tersebut. Demi kemaslahatan mereka, sebuah upaya nasional digalakkan sebagai permasyarakatan P4(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Semua orang yang bekerja pada negara harus mengikuti penataran yang ditawarkan oleh program tersebut dan secara berkala harus mengikuti penatasan penyegaran. Seperti halnya indoktrinisasi adalah sebuah prosedur yang diulang-ulang, materi yang sama dikemukakan lagi dan lagi agar menjadi bagian pembentukan mental yang ditargetkan.
Menjadikan manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi pembangunan, insan Pancasila sejati, mereka itulah para pembangun bangsa. Mereka adalah orang-orang yang dijiwai semangat Pancasila, mereka sudah tersentuh olehnya. Mereka dijiwai oleh persatuan dan kesatuan Indonesia, dan rela berkorban untuk itu. Mereka adalah orang yang jujur dan tulus, tidak hanya memburu kepentingan diri sendiri, tetapi membarenginya menjadi kepentingan semua orang. Tanggung jawab mereka terhadap kewajiban membuat mereka menjadi pemimpin teladan yang mengilhami orang lain. Identifikasi mereka dengan kelompok persis seperti kesatuan ideal antara pemerintah dengan rakyat. Tentu saja ini menghasilkan kesatuan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang stabil dan dinamis. Jika generasi muda sebagai generasi penerus cita-cita mulia kita sanggup melaksanakan pekerjaan dengan baik, mereka bisa disebut sebagai pembangun bangsa berjiwa Pancasila. Menciptakan generasi yang demikian adalah tujuan dari pendidikan Pancasila.
Pendidikan nyaris terkesan seperti menyimak guru-guru mistik. Segala yang jelas dan sederhana menjadi tidak menarik. Dibalut misteri, misalnya dengan mereduksi segala sesuatu menjadi satu, segala sesuatu menjadi lebih benar, begitulah dan karena itu perlu disingkapkan. Hubungan erat antara pemikiran kebatinan Jawa dan cara moralitas Pancasila disampaikan. Seperti penataran Pancasila berkali-kali menekankan bahwa orang tua, guru, dan negara harus dihormati. Dalam bahasa mistis priyayi, inilah cara mengagungkan Tuhan, tempat segala tujuan berakhir. Guru adalah bagian dari hierarki moral. Melalui kebijakansanaan mereka, rakyat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar, baik itu melalui kehidupan atau suprantural. Dalam hal ini, guru – kepala sekolah – adalah negara, pengejewantahan dari raja. Diharapkan para penguasa ini memiliki wahyu, membagi pemwahyuan, membagi kebenaran sehingga bisa mengucapkan kata-kata penuh bijaksana.
Dalam hubungan dengan guru, siswa adalah orang yang belum jadi. Mereka masih bodoh dan perlu dibekali petunjuk yang mereka perlukan dalam meraungi kehidupan. Mereka membutuhkan peradaban, mereka perlu digosok hingga mengkilat. Jadi, sama seperti anak-anak Jawa atau orang asing atau pemabuk, dalam hal ini disebut durung Jawa,  belum menjadi orang Jawa, mungkin lebih tepat belum diindoktrinasi dianggap belum Indonesia, belum menjadi orang Indonesia. Penting bagi mereka untuk mengetahui bahwa Indonesia diwahyukan, dan wahyu itu disimpan dalam rumusan keramat, di mana Pancasila dan UUD 1945 adalah yang paling penting. Karena Indonesia dipunyai oleh semua, para pemiliknya punya hak dan kewajiban untuk dicerahkan menjadi orang Indonesia sejati, manusia Pancasila seutuhnya.

PEMBAHASAN RELEVAN ISI MONOGRAF
DALAM KAJIAN SOSIOLOGI AGAMA!
Soal kebatinan, kepercayaan, simbolisme slametan, praktik keagamaan, berbagai kejadian, perhitungan hari, dan hal-hal sejenisnya. Singkatnya adalah suatu pertukaran pikiran, pengujian asumsi, dan mungkin, penjelajahan imajinasi dan interpretasi yang semuanya berkaitan dengan pandangan mistik, wawasan yang lebih dalam dari sekedar kejadian-kejaadian sepintas lalu. Kendati demikian, semua tampak serba pribadi. Untuk itu, orang yang bisa merujuk dunia perwayangan, babad, primbon atau tak jarang juga alkitab, Alquran atau apapun. Ada nilai yang hendak dibangun, namun hal ini dipertanyakan, diolah, dan dinegosiasikan terus menerus. Ini adalah sesuatu yang bergerak populer, yang telah alamiah berjalan. Dengannya tidak ada yang diperkenankan benar sendiri, dengannya setiap aliran diperkenankan mengalir.
Dibuku Mitisisme Jawa Ideologi di Indonesia, tertera sejarah perebutan definisi agama oleh Kementerian Agama dengan aliran-aliran lokal. Pendefinisian yan dilakukan oleh Kementerian Agama yaitu untuk memperoleh pengakuan, suatu agama harus mempunyai nabi, dan kitab suci, selain itu juga harus diakui pada tingkat internasional. Definisi ini jelas menutup peluang mistisisme untuk menjadi sebuah ekspresi keagamaan yang sah sebab bagi kalangan penganut mistik, Tuhan itu langsung tertuju pada hati, bukan melalui perantara atau kitab suci. Berkat perlawanan umat Hindu Bali, definisi itu terpaksa ditarik. Namun, pada tahun 1961, Menteri Agama kembali mengusulkan definisi tentang agama, yang mencoba menyingkirkan mistisisme. Agama yang didirikan dengan adanya kitab suci, seorang nabi, dan ketunggalan absolut Tuhan Yang Maha Esa, serta sebuah sistem hukum yang mengatur para pengikutnya.
Selanjutnya Kepolisian mengambil pengawasan atas kelompok kepercayaaan untuk mencegah timbulnya keresahan sosial. Infiltrasi orang komunis dalam gerakan-gerakan mulai terlihat. Demi ketertiban keanarkian agama yang lebih parah, Presiden menyatakan bahwa hanya Islam, Khatolik, Protestan, Hindu, Bundha dan Kong Hu Chu yang mendapat pengakuan resmi. Kelompok-kelompok yang mencoba mengancam agama mapan itu, atau stabilitas masyarakat akan dilarang dan dibubarkan atas rekomendasi Menteri Agama, Jaksa Agung, atau Menteri Dalam Negeri.
Kelompok-kelompok pemuda Islam dengan dukungan Angkatan Militer, bergerak memusnahkan komunisme ateistik. Hasilnya adalah pembantaian mengerikan yang menelan korban kurang lebih setengah juta orang abangan. Setiap orang harus menyatakan diri sebagai penganut salah satu agama mapan untuk diterakan dalam kartu tanda penduduk. Dengan kata lain, tidak punya agama tidak lagi dibenarkan secara hukum. Demi menjamin agar kepala tidak terpisah dari leher, banyak orang yang mencari perlindungan dengan memeluk salah satu agama resmi. Akibat dari pembantaian orang abangan yang ditengarai sebagai komunis, pada tahun1965 serta dessakan seeorang untuk membuktikan bahwa diriny adalah muslim taat. Dengan demikian, ini merupakan bumerang bagi Islam. Orang-orang berbondong-bondong mencari agama. Dalam upaya mencari perlindungan, banyak orang Islam nominal yang memilih untuk masu gereka Katholik atau Protestan. Pihak gereja disibukkan dengan baptis massal.
Gagasan kesatuan dan interpenetrasi tercermin dalam gagasan tentang Tuhan. Bagi kaum mistikus, hakikat ketuhanan meliputi sifat yang terang maupun yang tersembunyi. Tuhan itu immanen dalam ciptaan, menjadi bagian dari segala suatu itu sendiri. Dalam pemahaman ini, ketuhanan bersemayam dalam inti batin manusia, hakikat batin manusia itulah yang dari sisi mistis, harus dilatih dan dikembangkan guna menembus eksistensi. Pendeknya, manusia turut ambil bagian dalam hakikat ketuhanan, hakikat yang ia bawa dalam keberadaan yang paling dalam dan menyikapi hidup secara serius. Akan tetapi, poteni immanen ini sukar dipahami sekaligus nyata, seperti ketika orang mengatakaan “Tuhan, saya tidak tahu; tatkala saya membuka mulut dan mengucap Tuhan, Tuhan ada, tetapi saat mulut saya tutup dan tidak menyebut nama itu, Tuhan raib begitu saja.
Peneliti menanyakan pemikiran itu kepada temannya yang menaruh minat pada budaya kejawen, ia mengatakan “Adakah Tuhan itu? Ana tan ana (ada, tidak ada), begitulah kami mengekspresikannya. Selama kita masih bisa berfikir dan menggunakan akal maka Tuhan tidak ada, tetapi ketika kita berhenti berfikir, saat kita cemas, sekarat, atau kehabisan akal maka Tuhan ada. Jadi, yang paling penting adalah dari mana kita berasal, ke mana kita pergi? Kita pasti punya asal, pasti punya tujuan, punya arah. Pandangan sebagai asal dan tujuan atau hidup itu sendiri. Bagi mereka Tuhan ada di hati, Tuhan-lah yang mereka rasakan. Dialah hidup dan keberadaan mereka menjadi bagian darinya, atau dalam bahasa seorang mistikus “Dalam setiap detak jantungku aku merasakan Tuhan”.
Pada masa sekarang, prinsip hidup ini dikenal sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dipahami sebagai prinsip ketuhanan yang mencakup semuanya. Sebuah kata ketuhanan pada dasarnya sangat kabur dan penuh misteri, lebih menunjuk pada zat yang lekat dengan ketuhanan ketimbang pada personalia Tuhan. Ketuhanan bisa dirasakan dalam batin, merupakan satu pengalaman tentang atau perjumpaan pribadi dengan hakikat dan kebenaran.
Perebutan pendefinisian memang dimenangkan oleh Kementrian Agama, dimana agama yang ingin diakui oleh negara harus memiliki kita suci, seorang nabi, Tuhan, keteraturan yang mengaturnya. Bahkan perebutan tersebut melibatkan oknum keamanan untuk menekan adanya kerusuhan bagi sekte yang tidak menyetujui dengan definisi yang baru. Sekte-sekte lokal seperti dipaksa untuk lenyap dari permukaan. Keterlibatan PKI mengakibatkan ribuan orang abangan dibantai, komunis hadir dan negara mencoba menolak kehadirannya. Sehingga pembasmian komunis tergalakkan. Ini bukan masalah agama, melainkan permainan politik yang berkuasa dan tidak mau tergulingkan. Bagi pemerintah, kehadiran komunis di Indonesia adalah ancaman ideologi.
Pengikut keagamaan dari agama yang diresmikan oleh negara, bukan karena mereka secara sukarela menerima keyakinan. Warga Indonesia  mulai sibuk mencari agama, memilih dan memilah agama yang akan dia masuki. Bukan hati yang bermain melainkan tekanan negara yang mengharuskan warganya memiliki agama untuk dicantumkan pada Kartu Tanda Penduduk. Ketidakpemilikan agama tidak dibenarkan oleh negara. Orang-orang yang meilhat agama Islam terlalu rumit untuk menyembah Tuhannya lima kali sehari, berpuasa, sedekah dan lain sebagainya. Mereka memilih agama yang lebih simple untuk dijadikannya panutan.
Kekuasaan negara terhadap agama cukup besar. Campur tangan pemerintah terhadap keyakinan setiap warganya mulai ditunjukkan dengan mencantumkan agama di KTP. Para tokoh agama mulai menggencarkan aksinya ke desa-desa untuk menambah pengikut. Warga memilih untuk mengikuti peraturan daripada yang didapatkannya adalah kepala terlepas dari badannya. Walau begitu,  aliran-aliran mistisisme tetap berjalan walau hanya terakui sebagai kebudayaan saja tidak sampai pengakuan pada sebuah agama. Perkumpulan masih saja dilaksanakan sesuai jadwa. Pengikut seorang guru bermacam-macam dan berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda. Tidak jarang perkumpulan dihadiri oleh orang-orang yang berbeda agama seperti Islam, Khatolik, Budha, Hindu, mereka masih mengikuti aliran yang dipercayainya.
Bagi kebanyakan orang Jawa, Tuhan terletak di hati dan hidup adalah penyembahan terus-menerus kepada Yang Mahakuasa. Mereka tidak mengerti mengapa orang harus menyembah Tuhan lima kali sehari, atau datang ke gereja, atau mengapa doa-doa mesti diteriakkan lewat pengeras suara di atas masjid. Dalam pemikiran kejawen, Tuhan bukanlah sosok hakim yang jauh dan tak terjangkau. Sebaliknya, Tuhan lebih dekat pada manusia ketimbang apapun juga. Mereka mengakui ekspresi ritual semua agama sebagai langkah yang bermanfaat, langkah dasar dalam jalan seseorang menuju Tuhan. Akan tetapi, walau Islam dan Kristen mempengaruhi pemikiran dan terminologi mistis orang Jawa, tetap saja mereka tidak bisa menerima Muhammad sebagai nasbi pamungkang maupun kristus sebagai satu-satunya Juru Selamat.

KRITIK KEKURANGAN/KELEMAHAN
DAN PENELITIAN LANJUTAN YANG DIPERLUKAN.
Niels Mulder dalam buku ini, dia memproyeksikan mistisisme adalah pembebasan individu. Sedangkan propaganda pada masa orde baru adalah sebuah kekangan. Namun pembahasan dalam isi buku ini lebih merefleksikan bahwa mistisisme yang dilakukan oleh kebanyakan orang Jawa tidak serta merta begitu saja melainkan harus melalui beberapa proses. Proses demi proses harus dilaluinya dan setiap proses memiliki keteraturan yang perlu di taati. Ada empat proses yang perlu dilakukan oleh orang Jawa sebelum dia melakukan semedi pada tingkat yang paling tinggi.
Tahap paling rendah dari jalan (sarengat atau syari’at) adalah mengindahkan dan hidup menurut pranata dan hukum agama. Bagi orang Islam, hal utama menunjuk pada ketaatan menjalankan shalat lima waktu yang berfungsi mengingtkannya kepada Tuhan. Priyayi sinkretis menyebut tahap ini sebagai ketaatan pelaksanaan kewajiban, terutama dalam arti berbakti dan memuliakan yang lebih tua, guru, dan raja dalam kesadaran bahwa berlaku seperti itu dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan. Orang kebanyakan juga menekankan penghormatan diri pada para leluhur, arwwah, dewa dan pahlawan mitologi sebagai sumber kekuasaan yang perlu dihormati, juga dalam kesadaran menghormati tatanan agung.
Tahap kedua dinamakan tarekat, di mana orang menyadarkan diri atas perilaku yang dipaparkan pada tahap pertama. Setelah menyadari maknanya, seorang pribadi menjadi sadar, misalnya bahwa shalat ritual bukan semata-mata menggerakkan tubuh dan melafalkan bacaan, tetapi merupakan upaya mulia dan suci, juga sebuah persiapan dasar menemui Tuhan dalam keberadaan yang mendalam di dalam dirinya.
Tahap ketiga hakekat, adalah perjumpaan dengan kebenaran. Inilah kesadaran paling maju daru inti shalat dan pengabdian kepada Tuhan, pemahaman mendalam bahwa satu-satunya cara yang mungkin untuk mengada adalah menjadi hamba Tuhan, menjadi sebuah bagian yang tergantung dalam skema kosmis maha besar. Ibadah harian menjadi suatu ibadah permanen kepada Tuhan. Kemudia kehidupan pibadi menjadi laku menyesuaikan dan sejalan dengan hidup ehingga ritual keagamaan menjadi kehilangan makna.
Tahap keempat makripat, saat tujuan menyatunya hamba dengan Tuhan sudah tercapai. Pada tahap ini, jiwa individu berbaur dengan jiwa universal, tindakan sudak menjadi laku yang sepenuhnya murni, tidak peduli apapun yang dilakukan orang itu, bekerja, bermeditasi, tidur. Pada titik ini, sang pelaku tersebut bercahaya bak bulan purnama di atas bumi, kehadirannya memperindah dunia dan mengilhami orang lain. Ia telah menjadi Wakil Tuhan.
Menempuh jalan mistik memang berat dan masyarakat bertekad bulat atas tujuan. Orang haru berlatih guna mengatasi aspek-aspek luarnya dengan cara asketisisme yang bida terdiri dari puasa, beribadah, berpantang melakukan hubungan seksual, meditasim bangun sepanjang malam, berjaga di kuburan orang sakti, atau menyepi di gunung dan di gua. Tujuan tapa adalah penyucian guna mencapai samadi, yakni keadaan pikiran yang bisa digambarkan sebagi sebuah konsentrasi lepas di dunia, di situ orang menjadi terbuka untuk menerima tuntutan ilahiah dan pada akhirnya, penyingkapan misteri kehidupan. Meskipun demikian, para mistikus berpengalaman akan menekankan disiplin yang diperlukan untuk mencapai samadi, mereka juga pasti memperingatkan akan bahaya penjelajahan alam gaib jika hasil dari praktik asketis masih belum cukup terkendali, atau jika praktik sendiri dimaksudkan untuk mencapai tujuan magis.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa sebenarnya apa yang ada dalam proses antara mistisisme Jawa dengan penerapan nilai P4 dan pancasila pada masa orde baru, sama-sama melalui proses yang rumit dan memang harus didisiplikan baik oleh diri sendiri maupun masyarakat luas yang ingin mencapai tujuannya. Sebuah budaya yang didokrin dalam pelajaran dan usaha dam mewujudkannya. Sebuah sanksi tetap akan sama-sama diperloeh oleh mistikus dan subjek dokrin apabila ada yang dilanggar. Ketika seorang mencapai mistisismenya, dia akan memperoleh kebebesan atas yang dicarinya. Begitu pula dengan penerapan nilai yang rumit, ketika Indonesia secara utuh dapat mencapai apa yang didokrinisasi maka akan tercapai masyarakat madani. Dimana masyarakt sudah sadar akan peraturan yang ada tanpa disadarkan kembali.
Penelitian yang lebih lanjut yang perlu dilakukan adalah sebuah penelitian di mana Indonesia sudah beranjak pada masa reformasi yang cukup umur. Dalam masa ini, apakah doktrinisasi yang dilakukan oleh rezim orde baru menghasilkan tatanan yang baik? Atau mistisisme Jawa di Indonesia semakin kuat? Begitupula dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila masih ampuh layaknya lambang yang termistik sehingga di zaman globalisasi ini masih ampuh dipertahankan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TINGKATAN NORMA BERDASARKAN KEKUATAN MEMAKSANYA:

No. NORMA URAIAN CONTOH 1. Cara ( usage) Norma yang paling lemah daya pengikatnya karena orang yang melanggar hanya mendapatkan sanksi dari masyarakat berupa cemoohan atau ejekan. Orang yang bersendawa atau berdecap-decap ketika sedang makan dan meludah di sembarang tempat hanya mendapat sanksi berupa teguran. 2. Kebiasaan ( folkways) Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya. Mematuhi orang tua, menggunakan tangan kanan apabila hendak memberi sesuatu, mengetuk pintu sebelum masuk ruangan orang lain, dan memberi salam pada saat bertamu 3. Tata kelakuan ( mores) Aturan yang sudah diterima masyarakat secara sadar atau tidak sadar dan dijadikan alat pengawas atau kontrol terhadap anggota masyarakat. Tata kelakuan mengharu

Materi Lembaga Pendidikan

NOTE: 1. Silakan catat di buku sosiologi catatan 2. Kirim hasil catatan yang sudah selesai ke whatsapp 082325347235 dengan format: Salam Nama Lengkap Kelas Picture Lanjutan Materi Lembaga Keluarga dengan Submateri Unsur-unsur Lembaga Keluarga.   Silakan lanjut mencatat Lembaga Pendidikan Pada Picture ini silakan untuk diringkas sesuai kebutuhan anda Lanjut mencatat FUNGSI LEMBAGA PENDIDIKAN Part I (jangan diringkas) Part II Fungsi Lembaga Pendidikan Lanjut mencatat Unsur-Unsut Lembaga Pendidikan Jika sudah selesai, baca kembali Note di atas! Terimakasih