Bagian
1: Aku Bara, yang sedang menebak cinta Sekar (pacarku)
Lembayung senja sedang asik bertengger di sisi
barat. Deburan ombak pesisir barat Lampung memang menggodaku beberapa hari ini.
Alunannya damai. Tenangnya menelanku perlahan. Ufuk barat menjadi pusat
perhatianku. Tanpa sadar aku jatuh pada lamunan. Andai saja Sekar tidak sekaku
itu dalam hal prinsipnya, di sampingku pasti sudah ada dia dengan balutan baju
ketat dan hotpant. Ku lirik ke kanan,
hanya ada Redo. Ia teman petualangku disini. Rasanya senyumku begitu getir.
Dasar wanita kota. Namun, aku tetap menyukai sekar dengan balutan itu
dibandingkan melihatnya mengenakan seragam kerjanya. Ia begitu tenang di luar,
namun hatinya mudah sekali meledak ketika berurusan dengan cinta. Tak mudah
mendapatkan cintanya. Kulihat lagi senja, hanya ada semburat keemasan yang
tersisa, sebagai tanda kabar, matahari sudah siap kembali pada peraduannya.
“Mau pulang sekarang?” Tawar Reno tanpa beranjak
dari duduknya
“Aku masih betah” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya
“Kenapa tidak sekalian pakai baju mermaid, biar bisa tidur gratis dengan mermaid-mermaid?” Ledek Reno datar
“Disini ada mermaid?
Pasti dia lebih memilihmu daripada aku.”
“Hai, kenapa begitu?” Nada Reno meninggi, wajahnya
menjauh dariku semakin terlihat seringai di dahinya
“Jomblo harus diutamakan!” celetukku tanpa
berekspresi
Reno beranjang dari atas pasir yang ia duduki. Air laut
semakin mendekat. Sepertinya dalam waktu beberapa menit lagi tempat dudukku akan
tenggelam oleh air laut. Aku mengikuti Reno menjauh dari sisi bibir pantai.
Tidak hanya kita berdua kala itu, ada beberapa orang, sepertinya orang local
dan komunitas selancar bahkan turis yang mudah ku kenali dari warna rambut dan
ciri-ciri fisik lainnya. Ombaknya memang indah bahkan membentuk irama yang
tenang disetiap diamku. Tempat ini memang belum ramai oleh manusia yang gila
foto seperti sekarang ini. Ini adalah pantai ke tiga yang aku kunjungi selama
satu minggu berada di Lampung.
“Besok aku akan kembali lagi. Mungkin aku akan
mendapatkan jawaban tentang cintaku sendiri. Atau tentang rumitnya batinku
bergejolak. Atau semuanya akan menjadi lebih rumit lagi. Entahlah.” Tanpa sadar
aku menghempaskan karbo lebih panjang dari biasanya dengan desahan yang hampir
terdengar oleh Redo
Tak ada sepatah kata lagi dari kita. Reno terus
melaju menuju lokasi pemakiran motor. Iya parkir liar. Motor hasil meminjam
dari kawan Reno yang kebetulan bertempat tinggal di Desa Tanjung Setia. Tempat
kami menginap pula. Di sini memang masih jauh dari sejahtera. Pasokan
listrikpun terbatas. Kemarin saja aku mandi dalam keadaan gelap. Mungkin malam ini
aku cukup cuci muka lalu tidur, aku benar-benar tidak tenang mandi dalam
keadaan meraba. Iya, aku takut tiba-tiba melihat sosok yang tak seharusnya aku
lihat.
Suara jangkrik mendominasi malam ini. Sedikit sulit
tertidur. Namun, tetap kupaksakan. Besok harus terbangun untuk mengejar sunrise. Reno sudah terlelap. Terdengar
dari suara dengkuran-dengkuran pelan darinya. Odhi sepertinya masih asik
ngobrol di luar bersama teman-teman sekolahnya dulu. Maklum, dia bilang hanya
liburan semester saja bisa pulang, itupun hanya beberapa hari. Bukan karena
jauh, dia ingin hidup mandiri dan menguji kemampuannya di tanah luas Bandar
Lampung. Kota yang sudah penuh penduduk dengan aktivitas yang padat. Dirinya
sendiri yang sedang menguji kemampuannya, bukan orang lain. Aku kagum.
Diantara temaram lampu minyak, aku teringat Sekar.
Gadis yang sudah dua tahun aku pacari. Dia cantik. Selalu tenang. Tak
berlebihan mengekspresikan emosinya, kecuali cinta. Gadis yang kucintai sejak
duduk di SMA. Kita tak satu sekolah, tapi aku selalu melihatnya melintas depan
rumahku setiap pagi. Rambutnya yang kadang terurai panjang, menambah
kecantikannya. Kulitnya yang putih, terlihat kemerahan setiap sepulang sekolah
di bawah sinar matahari. Dia selalu sendiri. Aku selalu menjadi pemerhati.
Bahkan setiap barang yang ia kenakan baru, aku tau. Mataku memang jeli
memerhatikannya. Aku yang tak pernah berani mendekatinya. Hanya melihatnya,
lalu tersenyum sendiri.
Kini aku memilikinya. Namun, untuk hatinya, aku tak
pernah tau. Hubungan ini berasa hanya milikku saja. Seperti yang ku bilang, dia
berlebih dalam hal cinta. Bahkan, ketika ada aku selama dua tahun, hatinya entah
kemana. Walau setiap pagi sebangun tidur, aku selalu membaca pesan singkatnya
yang berucap cinta. Bahkan, malam sebelum ku tidur, dia selalu mengirimku
emoticon hati. Apalah arti dari sebuah ucapan bibir, namun terasa hambar. Aku
berusaha menikmati alunan cintanya, namun tak indah iramanya. Aku memaksakan.
Aku yang tak terima kenyataan, dia sedang bergelut dengan perasaannya dulu
untuk menuju hatiku. Namun, dia selalu gagal. Aku selalu memaafkan. Mungkin,
ini adalah perjalananku untuk melarikan diri sejenak. Setalah seminggu kami
berdebat. Mendebatkan hal yang dia sendiri tak akan pernah mengerti. Mendebat
materi yang aku sendiri tak kuasa memberitahunya kalau dia terus saja terjebak.
Aku takut dia menyadari, aku sebenarnya sadar akan hal itu. Aku tak bisa
melihatnya menjadi murung.
Odhi membangunkanku. Sudah subuh rupanya. Sumpah ini
dingin sekali. Aku merasa setiap engsel tulangku sedang melepaskan diri. Ada
suara getaran gigi. Begitu pula dengan Reno. Dia merasakan hal yang sama. Tidak
dengan Odhi, dia seperti sedang berada di pukul tujuh pagi antara dingin namun
tersinari matahari. Enggan beranjang. Kami bertiga berjalan kaki. Aku lengkap
dengan jaket, kupluk, celana training panjang.
“Kau tidak mau menjadi penghangatku, pagi ini saja,
Ren?” Tanyaku dengan membuat suara manja dengan rajukan kecil memegang
lengannya
“Tidak usah gila. Pisangku tidak suka makan pisang
yaaa!” Suara Reno tertahan, dia sedang menahan getaran giginya yang semakin
kuat
“Kalau kau, Dhi. Mau?” Usahaku belum berakhir
“Kamu bisa memeluk pohon kepala nanti. Ada banyak.
Kamu tinggal pilih!” Jawab Odhi datar
Berbicara dengan mereka berdua memang tidak asik.
Serius. Datar. Tapi mereka baik tanpa dibuat-buat. Pelarian cintaku yang sedang
dilanda ketidakpastian. Mereka satu pemikiran, tinggal aku yang menyesuaikan.
Satu lawan dua, yang satu harus ngalah. Cukup lima belas menit, Odhi yang
memberitahu lari kecil mampu mengurangi gigitan dingin. Jelas itu hanya berlaku
untuk Odhi, bukan aku. Suara ombak nyata terdengar, Redo mengencangkan langkah
larinya dengan sumeringah, aku mengikutinya di belakang dengan menambah
kecepatan. Deburan ombak terdengar seperti obat sekaligus jawaban kesepian.
Hempasan angin nyata menerpa tubuhku yang semakin menggigil.
Aku memang selalu menyukai pagi, di mana semuanya
bermula. Di mana semuanya aku harus mampu memperbaiki. Aku ingat lagi Sekar.
Aku sedang kalah dengan egoku. Aku sedang tega membiarkan dia sendiri di kota
besar tanpa teman dekat. Aku harusnya pulang, menemuinya, memeluknya. Bukan
membiarkannya. Dia pasti sedang sedih dan aku? Ah, aku tak bisa berhenti
memikirkan dia dan kekawatiranku. Aku tak punya alasan mengkhawatirkan hubungan
ini. Toh, dia sudah berusaha sekuatnya untuk cintaku. Kenapa waktu itu aku
marah? Tega sekali aku ini.
“Wah, itu gadis pantai. Aduh hai, cantiknya!” Seru
Reno semangat yang lebih menuju nakal
Lengkingan suara Reno membuyarkan lamunan. Aku
ketinggalan cahaya sunrise. Dari kejauahan terlihat siluet seroang perempuan
membawa papan selancar. Ah, senyumku masih saja getir. Masih saja Sekar.
Nyatanya kami terpisah selat. Terpisah jarah. Terpisah komunikasi, sinyal
memang tak tertebak di sini. Akhirnya aku memutuskan tak membawa handpone
ketika keluar. Hanya akan percuma. Aku hanya akan membuka setiap menit layar
handpone berharap pesan masuk dari Sekar. Hanya akan menambah memoriku tentang
Sekar.
“Itu Icha, tetangga.” Sahut Odhi
“Icha sebelah rumah?” sahut Redo semakin semangat
Odhi mengangguk
“Icha si pemilik senyum indah? Icha yang selalu ku
kagumi setiap detail tubuhnya?” Redo memastikan kembali
Redo berlarian kecil menuju gadis siluet itu dengan
kegirangan. Dia memang tak bisa melihat wanita menganggur. Jangan salah, semua
dia dekati. Hanya satu yang akan menjadi pacarnya. Dia cukup selektif. Usia dua
puluh empat, dia hanya asik berkelanan tanpa menjatuhkan hati kewanita manapun.
Dia masih begitu mengagumi sosok almarhumah ibunya. Dia memang memiliki selera
yang unik. Aku cukup menghargainya. Odhi beranjak menjauhi pantai tanpa sepatah
katapun. Fikirku melayang ke gadis bernama Sekar lagi, ternyata perempuan itu lebih
mudah dipahami daripada ke dua pria ini.
Ada beberapa peselencar. Mereka tidak sedang untuk
melakukan selancar. Mereka sama sepertiku, menikmati sunrise di atas pasir putih. Sesekali melempari air laut yang
datang perlahan dengan kepalan pasir atau batuan kecil yang didapat disekitar
ia duduk. Aku mengikutinya. Aku memang kurang kerjaan. Mungkin dua laki-laki
itu sama sepertiku, membuang kesakitan, membuang pilu hati. Wajah mereka kebulu-bulean,
dengan aksen sunda. Mereka pasti dari jauh, rela kesini membuang beban hidup.
Odhi kembali, mengajakku pulang.
“Bagaimana dengan Redo?” Tanyaku
“Dia sudah biasa kesini, pasti sudah tau jalan
pulang. Toh ada Icha, gadis yang sudah dia kenal sejak empat tahun lalu. Dia
hanya mengagumi tanpa mau memulai dengan cinta. Dia memang aneh.” Jelas Odhi
panjang tanpa ku minta
Aku beranjak dari duduk, menghempas-hempaskan pasir
dari bokongku. Ku lirik Redo dari kejauhan. Sepertinya mereka sedang nyambung.
Aku tak mungkin mengganggu mereka. Alangkah bodohnya kami yang menyela obrolan
dua insane yang sedang mencoba membakar kekaguman satu sama lain. Aku berjalan
di belakang Odhi. Dia masih mengalungi sarung. Hanya mengenakan kaos dan kolor
saja. Dasar. Dia hidup dengan kebebasan tanpa memikirkan kegengsian. Indah
sekali hidup di sini. Andai sekar mau aku ajak membangun rumah di sini, lalu
aku menjadi nelayan? Sepertinya aku akan memertahankan pekerjaanku sekarang.
Aku begidik membayangkan melaut berhari-hari tanpa melihat kekasih hatiku
setiap malam.
Aku rindu dia. Bagaimana kabarnya? Apakah ia sudah
makan? Apa dia sudah meminum obatnya. Dia terkena Tuberculosis sejak tiga bulan lalu, harus rutin meminum obat sampai
enam bulan tanpa terputus. Semoga dia baik-baik saja, tanpa aku. Aku memang
tidak layak untuk dia. Tetapi, aku janji, sepulang dari sini, aku akan
menyeimbangimu, Sekar. Aku akan menjadi layak, layak menjadi pendampingmu
kelak. Kamu harus sabar, Sekar. Bukan-bukan. Bukan kamu harus sabar, tapi
akulah yang harus bergegas.
Sarapan sudah menunggu kedatangan kami. Makanan khas
daerah Lampung. Pindang ikan patin lengkap dengan sruit dan petai. Aku tidak
pernah memakan petai, selebihnya aku makan dengan lahap. Menjelang pukul
sepuluh, Odhi mengajakku ke rumah pamannya. Kami harus menaiki motor butut itu
lagi, di atas jalanan yang sedikit terjal.Tapi sungguh, ini mengasikkan. Kiri
kanan perjalanan, kami disuguhkan surganya mata. Melewati keindahan Bukit
Barisan, mulai dari sinilah jalanan sudah aspal nan mulus. Suasana disini
surganya para pencari ketenangan. Aku tidak tahu ini jarak berapa km dari rumah
Odhi, karena memang spidometer motor sudah mati dengan lapisan yang buram.
Akupun keasikan menikmati perjalanan dengan jejalan kenangan bersama Sekar. Ah,
sekar. Kenapa kamu selalu muncul? Apa kamu tak tahu, aku hanya ingin sebentar
saja tanpa bayangmu, setidaknya untuk hari ini saja!
Setelah obrolan panjang Odhi dan pamannya, setelah
dzuhur, kami berangkat menuju sebuah kebun. Ini hutan bagiku, bukan kebun. Untung
Paman Odhi membawa obat nyamuk oles, bisa-bisa aku hanya sibuk menyibakkan
nyamuk dari badanku. Mungkin ini rumah mereka. Sedikit cerita dari Odhi, pamannya
adalah petani damar mata kucing. Waw, aku terpukau. Pohon-pohonnya menjulang
tinggi. Aku terpukau, ditambah dengan santainya dua manusia ini memanjat pohon
damar dengan bantuan ikat pinggang pital (aku tak bisa menceritakan dengan
rinci, coba kamu searching di
google). Aku hanya menunggu dari bawah. Dengan sesekali mengoles obat nyamuk
kembali.
Damar mata kucing, banyak manfaatnya, bahkan dalam
perekonomian masyarakat sini. Pantas saja Odhi memanfaatkan peluang ini untuk
skripsinya. Dia memang pemuda dari desa namun semangatnya untuk mandiri aku
akan mengacungi dua jempol. Pemuda yang baik, bahkan dia sangat lembut kepada
kedua orang tuanya terutama dengan ibu. Jadi rindu ibu. Tak sadar, air mata
keluar dari sudut mata. Cepat-cepat aku seka dengan jari-jari. Odhi turun terlebih dahulu. Dia sedikit
kesulitan untuk turun, sesekali Pamannya memerhatikan Odhi yang turun. Mungkin
takut keponakannya melakukan kesalahan.
“Pekerjaan lumayan berat.” Keluh Odhi sambil
melepaskan badan dari ikat pintalnya
“Bukannya kamu pernah naik pohon damar ini
sebelumnya?”
“Pernah. Dulu sekali. Sewaktu kecil, itupun tidak
tinggi hanya coba-coba. Sepertinya factor berat badan, aku kesulitan untuk
menyesuaikan.”
Aku memperhatikan Odhi, bajunya basah oleh keringat,
ada luka-luka kecil dikakinya. Sepertinya dia tergores pijakan. Aku melongok
tempatnya menyimpan getah damar mata kucil. Dia berhasil mengumpulkan hampir
setengah.
“Kamu mau mencoba?” Tawar Odhi mengulurkan tali
tersebut
Aku hanya menggelengkan kepala. Aku benar-benar
masih takut ketinggian. Bisa-bisa, aku bisa naik tapi enggan untuk turun. Pernah
suatu sabtu pagi, sekolah dipulangkan cepat karena guru-guru akan rapat. Aku
memang selalu melewati sekolah Sekar, padahal ada jalan yang lebih cepat
dibandingkan harus melewati sekolah itu. Reno. Aku paksa untuk ikut berjalan
denganku dengan iming-iming traktir kantin hari senin nanti. Kami memang selalu
berjalan kaki, kadang naik sepeda. Suka-suka kita. Di depan gerbang, ada
seorang satpam.
“Misi Pak.” Sapaku
Dia tersenyum ramah membalas
Sekolah sepertinya sedang jam belajar. Suasana sepi.
Aku dan Redo, melewati trotoar sekolah. Lalu belok ke kiri, berarti bangunan
samping sekolah. Di lantai dua terdengan suara siswa sekelas yang tertawa saling
mengejek.
“Di bawah kelas yang itu, kelasnya Sekar.” Kata Redo
memberi informasi
Aku meliriknya sinis
“Serius, Dewi bilang padaku, kelasnya di bawah kelas
itu.”
“Dewi?” Tanyaku
“Dewi, gebetan. Dia sekelas sama Sekar.”
“Kamu memberi taunya, aku suka Sekar?” Tanyaku penuh
selidik
“tenang saja, rahasia denganku aman.” Kata Redo
sambil menggerakkan tangan kanannya memperagakan melakban mulut rapat tanpa ada
kebocoran
“Nah, ada pohon. Kamu manjat saja. Kata Dewi, dia
duduk di dekat jendela. Pasti terlihat kalau kamu memanjat pohon.”
“Apa itu perintah?”
“Tentu!”
“Baiklah demi kamu, aku akan manjat.”
Dengan semangat aku memanjat. Aku benar-benar
melupakan ketakutanku akan ketinggian. Beberapa detik, aku sudah sampai di
tengah pohon, membenarkan posisi nyaman. Aku hanya melihat meja-meja berjejer
dengan tumpukan kertas dan buku-buku. Ah, mungkin di sebelahnya kantor guru, kelasnya.
Tidak juga. Kain gorden terbuka lebar, ada kaca besar di tengahnya, aku melihat
beberapa guru laki-laki sedang berbincang dengan kopinya masing-masing.
“Do, yang mana?”
Tidak ada jawaban dari Redo. Aku baru sadar, Redo
meninggalkanku. Teman sialan. Sialnya lagi, anak-anak keluar gerbang secara
bersamaan. Aku kebingungan untuk turun. Aku benar-benar panik. Keringat dingin
mulai mengucur deras. Ku tarik nafas panjang, menenangkan diri. Tidak mungkin
ini menjadi waktu yang tepat aku turun. Ditambah aku kebingungan menemukan cara
untuk bisa turun. Melirik kebawah saja, rasanya seluruh darahku berhenti
mengalir. Yang ada, anak-anak lewat akan
mencurigai kebisingan yang kubuat dan mereka akan menemukanku. Bisa malu sekali
aku. Ah. Ini kesialan. Aku mencoba menenangkan diri. Hampir setengah jam
berlalu. Siswa belum juga habis, mereka masih saja ada yang lewat.
To be continu
heni setiana
Komentar
Posting Komentar