“Hei, syut syut.”
Aku menoleh ke bawah, dengan was-was akan jatuh.
Redo dan Dewi. Mereka benar-benar brengsek. Redo mengisyaratkan untuk turun.
Aku mengerti isyaratnya
“Kau laki, turun saja tak berani. Memalukan sekali.”
Logat Medan Redo keluar
Tiba-tiba aku melihat sosok Sekar berada di belakang
Dewi dengan wajah penasaran. Ah cinta monyet memang seperti monyet beneran.
Tanpa sadar, jantungku ikut terhenti. Terpana melihatnya dari atas dengan
rambut tergerai panjang terhempas semilir angin. Aku menekan dada. Mencoba
menghidupkan kembali detak jantung. Kamu tau apa yang terjadi setelahnya? Aku jatuh tepat di depan Redo. Tangan kananku
patah. Selama dua minggu harus di gendong. Mencatat dan mengerjakan PR semua ku
serahkan Redo. Dia adalah tersangka utama. Sudah membohongiku lalu malah
berhasil berbincang dengan Dewi. Lalu aku? Sudah jatuh, malu pula! Itu adalah
pertama kalinya aku memandang Sekar dengan sangat dekat, diapun menyentuhku.
Lembut sekali tanganya, wangi pula. Aku benar-benar merasakan cinta monyet
untuk pertama kalinya.
Pukul empat sore, kami baru sampai rumah. Rumah
tampak sepi. Aku langsung ke toilet dan sekalian mandi. Besok sudah harus
kembali, sore ini aku harus menikmati sunset, karna suatu hari aku akan kangen
untuk kembali kesini lagi. Redo tidak ada di kamar. Aku tidak menemukan dia di
sudut manapun. Setelah mengisi perut dengan nasi dan sayuran, aku pamit dengan
Odhi untuk kembali ke pantai. Ku cari kamera, kudapati sudah tersusun rapi di
sebelah tas ransel Redo, dia juga yang membereskan tas ranselku, dia memang
sahabat. Dia sempat pulang lalu pergi lagi, mungkin dia bosan di rumah
sendirian.
Kususuri jalanan tanah. Sesekali mengambil gambar
aktivitas warga sekitar. Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai di bibir
pantai. Sore ini lebih sepi dibandingkan sebelumnya. Dari ujung pantai, aku
melihat bayangan siluet Redo, rambutnya yang khas (keriting), membuat mataku
mudah mengenalinya. Dia masih dengan gadis yang sama, Icha. Sepertinya dia
sedang berusaha belajar selancar secara gratis.
Setelah mendapati tempat yang pas, aku duduk bersila
di atas pasir, sesekali ombak menghampiri dengan lembut. Masih cukup lama
menunggu sunset menampakkan cahaya indahnya. Di ufuk barat itu, aku melihat
matahari yang indah dengan semburat cahayanya sendiri. Semoga hubunganku dengan
sekar, memiliki ujung yang indah pula. Aku benar-benar rindu dia. Apapun kekesalah
yang semua aku bawa kesini, sudah meluntur dengan sendirinya. Nyatanya, setiap
ada kesempatan, bayangan Sekar merasuk melebihi kecepatan cahaya. Kedatangannya
sudah tidak lagi memerlukan permisi, kita sudah meleburkan tembok-tembok nan
tinggi, kenapa aku harus membangun tembok lagi. Tak seharusnya aku melakukan
itu.
Akupun tidak tau apa yang harus aku lakukan ketika
sudah sampai di Jakarta. Aku tidak ada rencana apapun ketika nanti bertemu
sekar.
“Ah, sekar. Aku tak tau, kenapa aku rindu. Aku
benar-benar masih merasakan sesak, namun rindu ini lebih mendominasi.”
Hari hampir petang. Redo menghampiriku bersama Icha
dan papan selancarnya. Ini untuk pertama kalinya aku melihat dekat wajah Icha.
Kami berkenalan. Dia gadis pesisir yang manis, khas rambut bob pendeknya.
Ternyata dia masih SMA kelas 3, yang setelah lulus akan mewujudkan cita-citanya
menjadi polisi wanita. Anak yang sudah dewasa. Sudah memiliki cita-cita yang
mapan tanpa kerisauan di wajahnya. Tidak sepertiku dulu ataupun Redo. Bukan
cita-cita yang kami kenal, namun mengikuti trend yang ada di kalangan kami.
Berlomba masuk ke universitas ternama, dengan jurusan bergengsi. Yang akhirnya
kami terdampar dengan jurusan seadanya tanpa pertimbangan minat apapun. Bodoh
sekali kami waktu itu.
Icha berjalan di depan kami. “Dia suka kamu.” Bisik
Redo
“Tapi aku sukanya, Sekar.” Balasku pelan
“Aku menyesal mengajakmu kesini.”
“Kamu harus mencukur rambutmu.”
“Ada yang salah?”
“Tidak, hanya saja pesonamu tertutup penuh oleh
rambut.”
“Ah, nggak asik lu, rasis!” Tutup Redo
Aku menahan tawa. Redo, memberiku sebuah batu. Aku
meliriknya, heran.
“Besok kamu harus menemui, Sekar. Ini batu sudah aku
doain, supaya kamu tidak salah ngomong ketika ketemu sama Sekar. Kalian sudah
memutuskan untuk bersama, jadi ini adalah persimpangan yang sedang kalian tuju.
Kalian harus menentukan, harus berjalan dipersimpangan yang mana. Kalian harus
tetap bergandeng.” Redo tampak serius untuk urusan ini
Aku terdiam, tak bisa menjawab perkataan Redo.
“Apa ini perintah?” Tanyaku
“Tentu!”
“Baiklah, akan aku simpan.”
Aku tau batu itu hanya gurauan, Redo. Dia tidak
serius dengan batu itu, hanya saja aku benar-benar kehabisan kata untuk
menjawab perkataan Redo. Aku cukup, membalasnya dengan itu. Aku simpan batu
pemberian Redo di saku kanan celanaku. Batu itu tidak besar, hanya seukuran
jempol orang dewasa dengan warna kemerahan dan bercak putih yang indah.
Sepertinya dia tidak sengaja menemukannya ketika bermain di pantai tadi. Icha
sudah sampai rumahnya. Kami berpamitan, dan berterimakasih karena sudah menjadi
teman Redo seharian. Aku sapa juga orang tuanya yang sedang duduk di teras
depan rumah.
Pagi cepat sekali datang. Aku tidak mandi untuk ini.
Melihat air saja, aku menggigil hebat. Pagi ini hanya memasukan sedikit
perlengkapan mandi saja, selebihnya sudah kita siapkan sedari kemarin. Icha
sudah ada di rumah, ikut sarapan bersama kami. Satu fakta lagi yang ku tau
tentang Icha, dia adalah sepupu Odhi dari garis keturunan ibunya. Aku cukup
menikmati hikmatnya bersarapan bersama keluarga, lengkap. Travel yang Odhi
pesan sudah sampai di depan rumah. Kami harus bergegas pulang. Beberapa teman
Odhi juga datang, melepas Odhi untuk kembali merantau. Ah, sangat erat hubungan
mereka, aku bisa merasakan kehangatan yang mereka ciptakan.
Aku memilih duduk di depan, sebelah sopir bersama
Redo. Odhi di belakang bersama penumpang lainnya. Baru berapa ratus meter mobil
melaju, ku lihat Odhi sudah siap merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Dia
begadang sampai pagi memang, begitu pula Redo. Aku memilih tidur lebih awal,
aku tak sanggup dengan begadang. Apalagi, perjalananku paling jauh. Aku harus
melanjutkan ke Jakarta malam nanti. Di sini, jika kamu mencari udara segar
bersama semerbak kupu-kupu berterbangan dipingiran jalan mencari nectar di atas
bunga-bunga yang tumbuh liar. Suara burung yang lebih mendominasi disbanding
suara bising kendaraan, di sinilah tempatnya. Kamu bebas menghirup udara segar.
Jalanan memang berkelok-kelok. Tidak perlu cepat-cepat mengakhiri perjalanan
ini.
Sesampainya di pelabuhan Merak Banten, jam
menunjukkan pukul satu dini hari. Kucari mushola pelabuhan, mungkin saja aku
bisa beristirahat sampai pagi menjelang terang. Tidak hanya aku, ada puluhan
penyeberang yang memutuskan beristirahat disini. Udara begitu dingin. Namun,
lantai mushola ini begitu hangat. Mungkin saja, simpanan panas dari teriknya
matahati kemarin masih mampu menghangatkan. Subuh menjelang, aku sudah tak
mampu memejamkan mata lagi. Ku ambil rokok dari saku celanaku, masih ada dua
batang tersisa. Aku memilih, teras paling luar untuk menghisap asap rokok.
Tidak lama, ada bapak-bapak paruh baya mendekatiku, meminta rokok. Kuberikan
sisanya dengan sopan. Tidak ada sepatah katapun dari kamu. Hanya ada asap yang
keluar dari mulut kami.
Perjalanan ini cukup panjang. Selepas magrib,
barulah sampai di apartemen. Aku ingat, handponeku butuh asupan energy listrik.
Kutinggal mandi dan memesan makanan dengan ojek online. Selesai mandi, tidak
lama pesananku datang diantar oleh seorang cleaning
servise yang sudah mengenalku sejak lama. Kuberikan beberapa lembar uang
limaribuan, dia tersenyum lalu pergi. Sudah lama sekali rasanya tidak memakan
makanan ini. Kuhidupkan handpone, ada banyak sekali pesan whatsapp masuk, tidak
hanya sekar bahkan beberapa rekan kerja mencariku. Hanya nama Sekar yang
menjadi pusat perhatian, banyak sekali pesan masuk.
“Kamu sudah makan?” Dari sekian banyak pesan, 70%
pesan ini mendominasi, mungkin saja dia selalu mengkhawatirkanku yang lupa
makan dan beberapa emoticon hati serta ucapan “Aku mencintaimu” ah, dia memang
selalu berusaha mengirim kata-kata itu walaupun dalam keadaan marah kepadaku
Yang paling bawah, dia mengirim gambar, aku perlu mendownloadnya terlebih dahulu. Dahiku
menyerengit. Dengan pakaian piaman dariku, dia sedang tertidur di rumah sakit,
dan selang menempel di tangan kirinya. Dia masih saja sempat tersenyum dan
menunjukkan dua jari sebagai tanda dia sedang sakit namun baik-baik saja. Napsu
makanku hilang seketika. Ku raih jaket di lemari, dan celana. Dengan
tergesa-gesa aku memakainya. Ah, hampir saja aku melupakan kunci mobilku
sendiri. Aku kembali lagi. Dia sejenak, berfikir dalam kekacauan, mengingat apa
saja yang harus aku bawa. Ah, selimut. Pasti dia membutuhkan selimut lagi. Sebelum
meninggalkan apartemen, aku melihat ada dua gelas di atas meja dekat dapur.
Sepertinya bekas. Mungkin saja aku lupa sudah menggunakannya tapi tidak
membereskan sebelum pergi.
Aku benar-benar kacau. Tidak ada yang bisa aku
fikirkan kecuali tahu keberadaan Sekar. Dua kali aku mencoba menguhubunginya,
dari sana terdengar suaranya yang lembut.
“Kamu sakit?” tanyaku
“Hanya sedikit.”
Dia benar-benar wanita yang tak pernah bisa aku
mengerti seratus persen. Selalu mengubur kekhawatiranku.
“Syukurlah, aku sedang di jalan. Kamu di rumah sakit
mana?” tanyaku lagi
“Seperti biasa.”
Aku tau, dia selalu berobat di rumah sakit itu.
Bodohnya kenapa aku Tanya lagi. Dia pasti kecewa, karena aku lupa dimana dia
berada setiap sakit. Mungkin kekhawatiranku sedang membunuh ingatanku. Aku tak
paham, sedang melukai hatinya lagi.
“Hati-hati di jalan.” Sambungnya kembali sebelum
kututup
Perjalanan ini memang terlalu panjang melalui
kemacetan. Mau ngebutpun tak akan sanggup. Hanya ada celah kecil, jarak antara
kendaraan satu dengan yang lain. Aku menemukan Sekar, di depan pintu kamar
inapnya. Dia duduk di kursi roda, dengan seorang perempuan berdiri di
belakangnya. Iya, itu ibuku.
“Ibu!” Seruku tak percaya beliau sudah ada disini
“Ahhh, rupanya kamu sudah datang ya.” Sahut Ibu
dengan nada kesal
Beliau mendekatiku yang masih bengong di depan
pintu.
“Dari mana saja kamu?” Tanya ibu sambil mencubit
perut kiriku
Aku tak mampu menjawab. Cubitannya begitu sakit. Aku
meringis kesakitan.
“Ampun, Bu. Ampun.” Pintaku berkali-kali
“Sudah pandai ya sekarang kabur-kabur.” Cubitan ibu
makin kencang, dan aku ingin loncar kebelakang mengindari, malah membuatku
semakin merasakan kesakitan
“Lebih kenceng lagi, Bu.” Suara Ayah menyahut,
beliau dengan santainya masuk dengan dua gelas kopi ditangan kanan kirinya
“Sudah, Mbak. Tidak enak dilihat orang lewat.” Pinta
Ayah Sekar yang keluar dari kamar mandi
Rupanya disini ada pertemuan orang tua. Untung saja
aku tidak lebih telat lagi datangnya. Bisa-bisa aku dilepas dari kartu keluar.
Ibu baru melepaskan cubitannya setelah mendengar suara handponenya berbunyi.
“Kalau bukan adik menelpon, sudah ibu lanjutkan
siksaannya.” Kata ibu
Kugaruk-garuk bekas kesakitannya, berharap lekas
tidak sakit. Aku menyeringai melihat Sekar memandangiku terus dengan tenangnya.
Segeraku letakkan selimut tebal di atas kasur.
“Kamu kesini hanya modal itu?” Tanya Ayah “Kalau
Sekar tak cinta, sudah pasti kamu disuruh pulang. Itu selimut hanya kedok kamu,
supaya bisa tidur disini tanpa kedinginankan?” Tuduh ayah tanpa membiarkanku
menjawab
“Sudah, Mas. Kasian dia, baru sampai.” Tenang Ayah
Sekar
Kutarik kebelakang perlahan, kursi roda Sekar.
Mencari selah untuk berbalik.
“Antar dia jalan-jalan.” Perintah Ibu
“Baik.”
Sudah sampai depan pintu, ibu memanggilku kembali
“Ge, adikmu mau bicara sebentar.” Untung ini ibuku, jadi apapun aku tak akan
membantah. Harga diriku bisa lenyap dihadapan Sekar kalau sampai ibu menyiksaku
lagi. Aku putar lagi kursi rodanya.
“Mau bicara apa?”
“Aku sudah mengirimi abang gambar via whatsapp tapi
belum dibuka-buka juga. Buka ya. Aku tunggu balasannya.”
“Ya. Ada lagi?”
“Tidak ada!”
Aku hendak kembali mengatarkan Sekar jalan-jalan
sejenak. Mungkin saja sedang merasa bosan. Ingin mengirup udara sekitar rumah
sakit. Padahal, udara di kamar sama dengan udara lainnya.
“Sudah-sudah. Jalan-jalannya besok saja. Ini sudah
malam. Kasian Sekar nanti kedinginan.”
Aku melongo. Pegangan kursi roda, diambil alih oleh
ibu, aku hanya mampu menghela nafas panjang. Kemana ibu Sekar. Beliau sekarang
sedang ada di rumah sakit jiwa. Beliau adalah psikolog, mungkin sedang ada jam
jaga malam. Makanya beliau tidak kulihat sejak awal. Aku mengurungkan
pertanyaan kepada Sekar, aku sudah menemukan jawabannya.
Komentar
Posting Komentar