Langsung ke konten utama

Part 2: Aku mencintaimu, Puan!

“Hei, syut syut.”

Aku menoleh ke bawah, dengan was-was akan jatuh. Redo dan Dewi. Mereka benar-benar brengsek. Redo mengisyaratkan untuk turun. Aku mengerti isyaratnya

“Kau laki, turun saja tak berani. Memalukan sekali.” Logat Medan Redo keluar

Tiba-tiba aku melihat sosok Sekar berada di belakang Dewi dengan wajah penasaran. Ah cinta monyet memang seperti monyet beneran. Tanpa sadar, jantungku ikut terhenti. Terpana melihatnya dari atas dengan rambut tergerai panjang terhempas semilir angin. Aku menekan dada. Mencoba menghidupkan kembali detak jantung. Kamu tau apa yang terjadi setelahnya?  Aku jatuh tepat di depan Redo. Tangan kananku patah. Selama dua minggu harus di gendong. Mencatat dan mengerjakan PR semua ku serahkan Redo. Dia adalah tersangka utama. Sudah membohongiku lalu malah berhasil berbincang dengan Dewi. Lalu aku? Sudah jatuh, malu pula! Itu adalah pertama kalinya aku memandang Sekar dengan sangat dekat, diapun menyentuhku. Lembut sekali tanganya, wangi pula. Aku benar-benar merasakan cinta monyet untuk pertama kalinya.

Pukul empat sore, kami baru sampai rumah. Rumah tampak sepi. Aku langsung ke toilet dan sekalian mandi. Besok sudah harus kembali, sore ini aku harus menikmati sunset, karna suatu hari aku akan kangen untuk kembali kesini lagi. Redo tidak ada di kamar. Aku tidak menemukan dia di sudut manapun. Setelah mengisi perut dengan nasi dan sayuran, aku pamit dengan Odhi untuk kembali ke pantai. Ku cari kamera, kudapati sudah tersusun rapi di sebelah tas ransel Redo, dia juga yang membereskan tas ranselku, dia memang sahabat. Dia sempat pulang lalu pergi lagi, mungkin dia bosan di rumah sendirian.

Kususuri jalanan tanah. Sesekali mengambil gambar aktivitas warga sekitar. Tidak butuh waktu lama, aku sudah sampai di bibir pantai. Sore ini lebih sepi dibandingkan sebelumnya. Dari ujung pantai, aku melihat bayangan siluet Redo, rambutnya yang khas (keriting), membuat mataku mudah mengenalinya. Dia masih dengan gadis yang sama, Icha. Sepertinya dia sedang berusaha belajar selancar secara gratis.

Setelah mendapati tempat yang pas, aku duduk bersila di atas pasir, sesekali ombak menghampiri dengan lembut. Masih cukup lama menunggu sunset menampakkan cahaya indahnya. Di ufuk barat itu, aku melihat matahari yang indah dengan semburat cahayanya sendiri. Semoga hubunganku dengan sekar, memiliki ujung yang indah pula. Aku benar-benar rindu dia. Apapun kekesalah yang semua aku bawa kesini, sudah meluntur dengan sendirinya. Nyatanya, setiap ada kesempatan, bayangan Sekar merasuk melebihi kecepatan cahaya. Kedatangannya sudah tidak lagi memerlukan permisi, kita sudah meleburkan tembok-tembok nan tinggi, kenapa aku harus membangun tembok lagi. Tak seharusnya aku melakukan itu.

Akupun tidak tau apa yang harus aku lakukan ketika sudah sampai di Jakarta. Aku tidak ada rencana apapun ketika nanti bertemu sekar.

“Ah, sekar. Aku tak tau, kenapa aku rindu. Aku benar-benar masih merasakan sesak, namun rindu ini lebih mendominasi.”

Hari hampir petang. Redo menghampiriku bersama Icha dan papan selancarnya. Ini untuk pertama kalinya aku melihat dekat wajah Icha. Kami berkenalan. Dia gadis pesisir yang manis, khas rambut bob pendeknya. Ternyata dia masih SMA kelas 3, yang setelah lulus akan mewujudkan cita-citanya menjadi polisi wanita. Anak yang sudah dewasa. Sudah memiliki cita-cita yang mapan tanpa kerisauan di wajahnya. Tidak sepertiku dulu ataupun Redo. Bukan cita-cita yang kami kenal, namun mengikuti trend yang ada di kalangan kami. Berlomba masuk ke universitas ternama, dengan jurusan bergengsi. Yang akhirnya kami terdampar dengan jurusan seadanya tanpa pertimbangan minat apapun. Bodoh sekali kami waktu itu.

Icha berjalan di depan kami. “Dia suka kamu.” Bisik Redo

“Tapi aku sukanya, Sekar.” Balasku pelan

“Aku menyesal mengajakmu kesini.”

“Kamu harus mencukur rambutmu.”

“Ada yang salah?”

“Tidak, hanya saja pesonamu tertutup penuh oleh rambut.”

“Ah, nggak asik lu, rasis!” Tutup Redo

Aku menahan tawa. Redo, memberiku sebuah batu. Aku meliriknya, heran.

“Besok kamu harus menemui, Sekar. Ini batu sudah aku doain, supaya kamu tidak salah ngomong ketika ketemu sama Sekar. Kalian sudah memutuskan untuk bersama, jadi ini adalah persimpangan yang sedang kalian tuju. Kalian harus menentukan, harus berjalan dipersimpangan yang mana. Kalian harus tetap bergandeng.” Redo tampak serius untuk urusan ini

Aku terdiam, tak bisa menjawab perkataan Redo.

“Apa ini perintah?” Tanyaku

“Tentu!”

“Baiklah, akan aku simpan.”

Aku tau batu itu hanya gurauan, Redo. Dia tidak serius dengan batu itu, hanya saja aku benar-benar kehabisan kata untuk menjawab perkataan Redo. Aku cukup, membalasnya dengan itu. Aku simpan batu pemberian Redo di saku kanan celanaku. Batu itu tidak besar, hanya seukuran jempol orang dewasa dengan warna kemerahan dan bercak putih yang indah. Sepertinya dia tidak sengaja menemukannya ketika bermain di pantai tadi. Icha sudah sampai rumahnya. Kami berpamitan, dan berterimakasih karena sudah menjadi teman Redo seharian. Aku sapa juga orang tuanya yang sedang duduk di teras depan rumah.

Pagi cepat sekali datang. Aku tidak mandi untuk ini. Melihat air saja, aku menggigil hebat. Pagi ini hanya memasukan sedikit perlengkapan mandi saja, selebihnya sudah kita siapkan sedari kemarin. Icha sudah ada di rumah, ikut sarapan bersama kami. Satu fakta lagi yang ku tau tentang Icha, dia adalah sepupu Odhi dari garis keturunan ibunya. Aku cukup menikmati hikmatnya bersarapan bersama keluarga, lengkap. Travel yang Odhi pesan sudah sampai di depan rumah. Kami harus bergegas pulang. Beberapa teman Odhi juga datang, melepas Odhi untuk kembali merantau. Ah, sangat erat hubungan mereka, aku bisa merasakan kehangatan yang mereka ciptakan.

Aku memilih duduk di depan, sebelah sopir bersama Redo. Odhi di belakang bersama penumpang lainnya. Baru berapa ratus meter mobil melaju, ku lihat Odhi sudah siap merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Dia begadang sampai pagi memang, begitu pula Redo. Aku memilih tidur lebih awal, aku tak sanggup dengan begadang. Apalagi, perjalananku paling jauh. Aku harus melanjutkan ke Jakarta malam nanti. Di sini, jika kamu mencari udara segar bersama semerbak kupu-kupu berterbangan dipingiran jalan mencari nectar di atas bunga-bunga yang tumbuh liar. Suara burung yang lebih mendominasi disbanding suara bising kendaraan, di sinilah tempatnya. Kamu bebas menghirup udara segar. Jalanan memang berkelok-kelok. Tidak perlu cepat-cepat mengakhiri perjalanan ini.

Sesampainya di pelabuhan Merak Banten, jam menunjukkan pukul satu dini hari. Kucari mushola pelabuhan, mungkin saja aku bisa beristirahat sampai pagi menjelang terang. Tidak hanya aku, ada puluhan penyeberang yang memutuskan beristirahat disini. Udara begitu dingin. Namun, lantai mushola ini begitu hangat. Mungkin saja, simpanan panas dari teriknya matahati kemarin masih mampu menghangatkan. Subuh menjelang, aku sudah tak mampu memejamkan mata lagi. Ku ambil rokok dari saku celanaku, masih ada dua batang tersisa. Aku memilih, teras paling luar untuk menghisap asap rokok. Tidak lama, ada bapak-bapak paruh baya mendekatiku, meminta rokok. Kuberikan sisanya dengan sopan. Tidak ada sepatah katapun dari kamu. Hanya ada asap yang keluar dari mulut kami.

Perjalanan ini cukup panjang. Selepas magrib, barulah sampai di apartemen. Aku ingat, handponeku butuh asupan energy listrik. Kutinggal mandi dan memesan makanan dengan ojek online. Selesai mandi, tidak lama pesananku datang diantar oleh seorang cleaning servise yang sudah mengenalku sejak lama. Kuberikan beberapa lembar uang limaribuan, dia tersenyum lalu pergi. Sudah lama sekali rasanya tidak memakan makanan ini. Kuhidupkan handpone, ada banyak sekali pesan whatsapp masuk, tidak hanya sekar bahkan beberapa rekan kerja mencariku. Hanya nama Sekar yang menjadi pusat perhatian, banyak sekali pesan masuk.

“Kamu sudah makan?” Dari sekian banyak pesan, 70% pesan ini mendominasi, mungkin saja dia selalu mengkhawatirkanku yang lupa makan dan beberapa emoticon hati serta ucapan “Aku mencintaimu” ah, dia memang selalu berusaha mengirim kata-kata itu walaupun dalam keadaan marah kepadaku

Yang paling bawah, dia mengirim gambar, aku perlu mendownloadnya terlebih dahulu. Dahiku menyerengit. Dengan pakaian piaman dariku, dia sedang tertidur di rumah sakit, dan selang menempel di tangan kirinya. Dia masih saja sempat tersenyum dan menunjukkan dua jari sebagai tanda dia sedang sakit namun baik-baik saja. Napsu makanku hilang seketika. Ku raih jaket di lemari, dan celana. Dengan tergesa-gesa aku memakainya. Ah, hampir saja aku melupakan kunci mobilku sendiri. Aku kembali lagi. Dia sejenak, berfikir dalam kekacauan, mengingat apa saja yang harus aku bawa. Ah, selimut. Pasti dia membutuhkan selimut lagi. Sebelum meninggalkan apartemen, aku melihat ada dua gelas di atas meja dekat dapur. Sepertinya bekas. Mungkin saja aku lupa sudah menggunakannya tapi tidak membereskan sebelum pergi.

Aku benar-benar kacau. Tidak ada yang bisa aku fikirkan kecuali tahu keberadaan Sekar. Dua kali aku mencoba menguhubunginya, dari sana terdengar suaranya yang lembut.

“Kamu sakit?” tanyaku

“Hanya sedikit.”

Dia benar-benar wanita yang tak pernah bisa aku mengerti seratus persen. Selalu mengubur kekhawatiranku.

“Syukurlah, aku sedang di jalan. Kamu di rumah sakit mana?” tanyaku lagi

“Seperti biasa.”

Aku tau, dia selalu berobat di rumah sakit itu. Bodohnya kenapa aku Tanya lagi. Dia pasti kecewa, karena aku lupa dimana dia berada setiap sakit. Mungkin kekhawatiranku sedang membunuh ingatanku. Aku tak paham, sedang melukai hatinya lagi.

“Hati-hati di jalan.” Sambungnya kembali sebelum kututup

Perjalanan ini memang terlalu panjang melalui kemacetan. Mau ngebutpun tak akan sanggup. Hanya ada celah kecil, jarak antara kendaraan satu dengan yang lain. Aku menemukan Sekar, di depan pintu kamar inapnya. Dia duduk di kursi roda, dengan seorang perempuan berdiri di belakangnya. Iya, itu ibuku.

“Ibu!” Seruku tak percaya beliau sudah ada disini

“Ahhh, rupanya kamu sudah datang ya.” Sahut Ibu dengan nada kesal

Beliau mendekatiku yang masih bengong di depan pintu.

“Dari mana saja kamu?” Tanya ibu sambil mencubit perut kiriku

Aku tak mampu menjawab. Cubitannya begitu sakit. Aku meringis kesakitan.

“Ampun, Bu. Ampun.” Pintaku berkali-kali

“Sudah pandai ya sekarang kabur-kabur.” Cubitan ibu makin kencang, dan aku ingin loncar kebelakang mengindari, malah membuatku semakin merasakan kesakitan

“Lebih kenceng lagi, Bu.” Suara Ayah menyahut, beliau dengan santainya masuk dengan dua gelas kopi ditangan kanan kirinya

“Sudah, Mbak. Tidak enak dilihat orang lewat.” Pinta Ayah Sekar yang keluar dari kamar mandi

Rupanya disini ada pertemuan orang tua. Untung saja aku tidak lebih telat lagi datangnya. Bisa-bisa aku dilepas dari kartu keluar. Ibu baru melepaskan cubitannya setelah mendengar suara handponenya berbunyi.

“Kalau bukan adik menelpon, sudah ibu lanjutkan siksaannya.” Kata ibu

Kugaruk-garuk bekas kesakitannya, berharap lekas tidak sakit. Aku menyeringai melihat Sekar memandangiku terus dengan tenangnya. Segeraku letakkan selimut tebal di atas kasur.

“Kamu kesini hanya modal itu?” Tanya Ayah “Kalau Sekar tak cinta, sudah pasti kamu disuruh pulang. Itu selimut hanya kedok kamu, supaya bisa tidur disini tanpa kedinginankan?” Tuduh ayah tanpa membiarkanku menjawab

“Sudah, Mas. Kasian dia, baru sampai.” Tenang Ayah Sekar

Kutarik kebelakang perlahan, kursi roda Sekar. Mencari selah untuk berbalik.

“Antar dia jalan-jalan.” Perintah Ibu

“Baik.”

Sudah sampai depan pintu, ibu memanggilku kembali “Ge, adikmu mau bicara sebentar.” Untung ini ibuku, jadi apapun aku tak akan membantah. Harga diriku bisa lenyap dihadapan Sekar kalau sampai ibu menyiksaku lagi. Aku putar lagi kursi rodanya.

“Mau bicara apa?”

“Aku sudah mengirimi abang gambar via whatsapp tapi belum dibuka-buka juga. Buka ya. Aku tunggu balasannya.”

“Ya. Ada lagi?”

“Tidak ada!”

Aku hendak kembali mengatarkan Sekar jalan-jalan sejenak. Mungkin saja sedang merasa bosan. Ingin mengirup udara sekitar rumah sakit. Padahal, udara di kamar sama dengan udara lainnya.

“Sudah-sudah. Jalan-jalannya besok saja. Ini sudah malam. Kasian Sekar nanti kedinginan.”

Aku melongo. Pegangan kursi roda, diambil alih oleh ibu, aku hanya mampu menghela nafas panjang. Kemana ibu Sekar. Beliau sekarang sedang ada di rumah sakit jiwa. Beliau adalah psikolog, mungkin sedang ada jam jaga malam. Makanya beliau tidak kulihat sejak awal. Aku mengurungkan pertanyaan kepada Sekar, aku sudah menemukan jawabannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TINGKATAN NORMA BERDASARKAN KEKUATAN MEMAKSANYA:

No. NORMA URAIAN CONTOH 1. Cara ( usage) Norma yang paling lemah daya pengikatnya karena orang yang melanggar hanya mendapatkan sanksi dari masyarakat berupa cemoohan atau ejekan. Orang yang bersendawa atau berdecap-decap ketika sedang makan dan meludah di sembarang tempat hanya mendapat sanksi berupa teguran. 2. Kebiasaan ( folkways) Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi bukti bahwa orang yang melakukannya menyukai dan menyadari perbuatannya. Mematuhi orang tua, menggunakan tangan kanan apabila hendak memberi sesuatu, mengetuk pintu sebelum masuk ruangan orang lain, dan memberi salam pada saat bertamu 3. Tata kelakuan ( mores) Aturan yang sudah diterima masyarakat secara sadar atau tidak sadar dan dijadikan alat pengawas atau kontrol terhadap anggota masyarakat. Tata kelakuan mengharu

Materi Lembaga Pendidikan

NOTE: 1. Silakan catat di buku sosiologi catatan 2. Kirim hasil catatan yang sudah selesai ke whatsapp 082325347235 dengan format: Salam Nama Lengkap Kelas Picture Lanjutan Materi Lembaga Keluarga dengan Submateri Unsur-unsur Lembaga Keluarga.   Silakan lanjut mencatat Lembaga Pendidikan Pada Picture ini silakan untuk diringkas sesuai kebutuhan anda Lanjut mencatat FUNGSI LEMBAGA PENDIDIKAN Part I (jangan diringkas) Part II Fungsi Lembaga Pendidikan Lanjut mencatat Unsur-Unsut Lembaga Pendidikan Jika sudah selesai, baca kembali Note di atas! Terimakasih

Mistisisme Jawa (Ideologi di Indonesia)

Judul Buku : Mistisisme Jawa ( Ideologi di Indonesia ) Karya Niels Mulder Review oleh Heni Setiana 11/03/2018 Buku Niels Mulder yang berjudul “Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia” dimana penulis berusaha mengungkapkan keterkaitan antara mistisisme jawa dengan politik di zaman rezim orde baru. Dimana mistisisme adalah pembebasan individu untuk menempuh kehidupan yang lurus. Sedangkanpada masa orde baru ini menerapkan nilai-nilai yang diresmikan. Dengan begitu, nilai-nilai dijajakan oleh negara melalui indoktrinisasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Orde baru mencoba mengklaim mempunyai justifikasi atas nama tradisi dan keaslian. Peneliti menemukan keterkaitan pola pemikiran mistisisme Jawa dengan indokrinasi Orde Baru dalam tiga kata pokok yaitu sesuatu yang keramat, realitas lahir, dan sosok ampuh.Dalam rezim ini, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pusaka kramat semacam primbom. Dimana, individu yang ingin selamat maka mereka harus be